Pages

Monday, June 27, 2011

BBB

BBB disini bukan singkatan dari BlackBerry-Behel alias salah satu ciri anak gaul paling mutakhir. BBB disini adalah singkatan dari ‘busuk-busuk birokrat’. Sebelum saya memulai, saya ingin mengkonfirmasi bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyerang pihak-pihak tertentu, namun hanya sebagai bahan obrolan semata. Obrolan di kala menyeruput secangkir kopi.

Area Abu-Abu
Beberapa waktu terlibat obrolan dengan dua orang PNS, yang satu struktural, yang lainnya fungsional yang juga masuk ke dalam struktur. Saya menahan tawa ketika pembicaraan sampai ke masalah lingkungan kerja. Keduanya mengakui bahwa dalam struktur kepegawaian Pegawai Negeri Sipil (baca: birokrasi) di negara ini sudah tak ada lagi area putih. Pegawai yang paling bersih sekalipun –kalau benar-benar bersih—hanya bisa bertahan di area abu-abu, baik secara vertikal (atasan-bawahan) maupun horizontal (kolega dan rekanan) bila tidak ingin ditolak oleh sistem. Maksudnya, tidak secara langsung melakukan penyimpangan diluar yang sudah terlanjur menjadi noda kerak pada sistem pun sudah termasuk baik, sangat baik. Malah, yang secara terang-terangan ingin benar-benar putih hanya akan ditendang keluar oleh sistem.
Saya dibesarkan di keluarga yang perekonomiannya ditopang oleh PNS yang dalam struktur kepegawaian berada di posisi yang cukup tinggi. Tak jarang sebagai seorang birokrat – disamping posisinya sebagai pegawai fungsional—orang tua saya berangkat tepat setelah shubuh untuk bermain golf dengan pejabat A, rapat di siang hari dengan kolega dan rekanan, dan pulang larut setelah makan malam dengan pejabat B. Semuanya dibungkus dengan manis dalam satu kata, lobi.
Selain honor dari pekerjaan sampingan (yang benar-benar legal karena hanya berhubungan dengan posisi fungsionalnya), hampir selalu ada ‘amplop’ tambahan yang meskipun tak seberapa –sepersekian gaji pokok PNS golongan IV—tapi tak benar-benar putih. Setiap hari raya, selalu ada bungkusan yang (lagi-lagi) tak seberapa, tapi (lagi-lagi) tak benar-benar putih karena yang mengirim adalah rekanan X dan Y serta kolega Z. Sebuah konsekuensi dari kehidupan di area abu-abu birokrasi instansi pemerintahan.

Sistem yang Kusam & Pintu Belakang
Bila ditanya apakah masih ada pegawai struktural (secara keseluruhan, meskipun mau tidak mau tatapan "istimewa" diberikan kepada mereka yang digaji dengan uang rakyat) yang benar-benar bersih, mungkin agak sulit mengiyakannya. Sebersih-bersihnya, pegawai adalah bagian dari sistem yang mau tidak mau –bahkan sebagian benar-benar mau—ikut terpengaruh oleh sistem. Bila kita memandang sistem birokrasi di negeri ini sudah kusam, mau tidak mau kita memandang komponen strukturnya (para birokrat) juga sebagai sesuatu yang kusam.
Sudah menjadi rahasia umum, membuat KTP dan SIM bisa lewat belakang, masuk ke sekolah negeri favorit bisa lewat belakang, bahkan menjadi Pegawai Negeri bisa juga lewat belakang. Tak mungkin ada bagian dari sistem yang tidak mengetahui sama sekali tentang hal ini, bahkan orang yang paling bersih. Namun, sistem yang terlanjur kusam dengan mudah membiarkan oknum-oknum ‘hitam’ membuka pintu belakang bagi siapa pun yang mampu masuk. Sekarang masalahnya, tidak ada lagi bagian –bahkan oknum—yang benar-benar putih. Maksudnya, bahkan anggota struktur yang paling mulia sekalipun punya akses ke pintu belakang tadi. Semua tahu syaratnya, yang terangkum dalam satu kata yang saya bicarakan diatas, lobi. Semua yang penghuni area abu-abu birokrasi mau tidak mau punya kekhasan, BBB (busuk-busuk birokrat), yang mencakup mulai kekuatan koneksi hingga pelicin.

Menggosok Sistem
Saya pernah membaca artikel sebuah majalah yang cukup terkenal yang membahas PNS-PNS muda yang berusaha untuk tidak menjadi korban sistem. Langkah pertama telah mereka tempuh, menjadi PNS secara benar-benar legal, tanpa koneksi maupun pelicin. Berikutnya, perjuangan mereka menahan pengaruh sistem yang bahkan diakui tidak mudah. Semoga saja ada lebih banyak yang berminat untuk ikut berpartisipasi “menggosok” sistem birokrasi kita yang sudah kusam karena oknum-oknum tertentu. Semoga suatu saat area putih bisa kembali hadir di ranah birokrasi yang sekarang hanya terdiri dari abu-abu dan hitam. Semoga.

Thursday, June 23, 2011

Negeri KW

Barang KW alias barang 'aspal' dengan mudah dapat dijumpai di negara ini. Selama memenuhi dua syarat, murah dan mirip, tak sedikit orang yang rela menjadikan barang KW sebagai andalan dalam berpenampilan sehari-hari. Tak masalah dengan esensi atau gengsi, kan mirip.

Yang konyol di negeri ini adalah, barang KW yang beredar tidak terbatas pada produk pakaian dan aksesori, tapi sampai hal-hal yang janggal, kalau tidak gila. Baru-baru ini, pedangdut kontroversial Dewi Perssik membuat heboh media massa dengan pengakuanya mengenai operasi mengembalikan selaput dara yang ia jalni setelah melaksanakan ibadah umrah. Mungkin berita itu membuta dahi sebagian orang mengernyit. Tapi kalau dipikir-pikir, ditengah tren barang KW yang membuat baju KW, tas KW, ponsel KW, dan I-Pad KW menjadi wajar dan menjamur, keperawanan KW tidak akan terlalu aneh. Seperti barang KW lain, keperawanan KW (hanya sekedar) tak punya esensi.

Masalah tak hanya sampai disitu. Situasi politik yang konyol akhir-akhir ini seperti bendahara partai yang ribut dengan partai sendiri, tersangka KKN yang kabur dengan mudah, sampai pengadil yang ditangkap lalu diadili membuat saya ingin menghubung-hubungkan sistuasi ini dengan tren barang-barang KW. Jangan-jangan, negara kita tak benar-benar memiliki politikus, aktivis partai, dan hakim yang “original”. Jangan-jangan, yang sekarang beredar di negara ini adalah politikus KW, aktivis KW, dan hakim KW yang kualitasnya beragam dari KW-super sampai KW-3. Kalau benar begitu, pantaslah Indonesia tercinta ini dapat predikat baru, Negeri KW.