Pages

Sunday, July 31, 2011

Galau

“Galau-galau gelisah gimana, gitu.” Ungkap seorang teman ketika ditanya kabarnya. Bila negara Indonesia bisa bicara, mungkin ia akan mengemukakan jawaban serupa bila ditanya bagaimana kabarnya. Indonesia tengah berbenah untuk menjadi tuan rumah SEAGAMES. Timnas sepak bola Indonesia masih melaju di prakualifikasi piala dunia setelah menumbangkan (walau dengan tipis) Turkmenistan beberapa waktu lalu. Meski begitu, ada hal lain yang lebih menarik perhatian media massa. Berita tentang oknum (mantan) petinggi partai yang berkuasa, ditambah berita penyalahgunaan bahan bakar minyak bersubsidi di kalangan masyrakat, juga berita tentang masalah yang menerpa mahkamah tertinggi di negeri ini jauh lebih laris dipublikasi. Sepertinya bangsa ini kekurangan waktu untuk bersenang-senang karena terlalu banyak masalah (yang sebenarnya tidak terlalu) penting untuk dipikirkan. Bangsa ini sedang galau. Berat.

Galau, adalah sebuah kata yang bisa merangkum keadaan-keadaan seperti bingung, cemas, dan gelisah yang masih dibumbui harapan. Sebagai sebuah kondisi, galau identik dengan penampilan luar yang lemah, letih, lesu, dan sebagainya. Namun, karena masih mengandung harapan, galau tidak secara langsung menjadikan pengidapnya seperti mayat hidup. Orang (atau negara) yang galau masih bisa tersenyum, setidaknya dengan miris. Senyum yang dikeluarkan sambil berkhayal (atau berharap) akan perubahan kearah yang lebih baik, sambil bergumam dalam hati. Semoga.

Secara normal, galu tidaklah permanen. Seiring waktu, peristiwa-peristiwa yang terjadi bisa mengubah galau menjadi rasa nyaman atau malah memicu frustasi. Seiring waktu pula, senyum miris karena galau akan tergantikan oleh senyum manis atau malah wajah yang cemberut kesal. Segala hal bisa terjadi setelah galau berlalu. Tapi sebelum itu, galau ya galau. Teman saya yang galau entah karena apa, saya sendiri yang juga galau entah karena apa, dan negara Indonesia yang galau karena tak tahu harus apa, hanya bisa berusaha agar galau cepat berlalu. Galau.

Sunday, July 24, 2011

Telat

Buat saya, tulisan ini menjadi semacam parodi, karena saya akui tulisan ini pun telat. Saya telah menjadwalkan untuk mengunggah tulisan ini sejak sekitar tiga pekan yang lalu, namun hal ini baru bisa dilakukan sekarang.

Beberapa waktu lalu, kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi ramai diperbincangkan. Media massa selama lebih dari seminggu terus meng-update berita perkembangan kasus tersebut. Bagaimana tidak, kasus itu menyangkut kursi Dewan Perwakilan Rakyat yang sudah terlanjur ditempati, selama dua tahun. Dua tahun, selama itulah waktu yang diperlukan untuk membuat kasus seperti ini naik ke permukaan, diluar rumor-rumor yang beredar tentang sebab mengapa kasus itu bisa terangkat, seperti pengalihan perhatian dari masalah internal partai yang berkuasa maupun serangan secara sengaja ke Mahkamah Konstitusi oleh pihak-pihak tertentu.

Memang ada pepatah yang mengatakan, terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali. Pepatah itu tidak benar-benar salah. Hanya saja, untuk kasus seperti, ada pepatah yang lebih cocok, nasi telah menjadi bubur. Dua kursi DPR yang dipermasalahkan telah terlanjur ditempati selama hampir setengah masa jabatan. Mempermasalahkan pemecatan atau penggantian anggota malah akan memperumit keadaan. Ya, mau diapakan lagi?

Lebih jauh ke belakang, sekitar dua bulan yang lalu, ada siswa yang melakukan perbuatan "heroik". Ia membongkar skandal percontekan Ujian Nasional di sekolahnya hingga ia "dimusuhi" teman-temannya yang merasa terancam. Bukannya saya sinis atau apa, tapi menurut saya hal itu terlalu terlambat. Ujian Nasional saat itu telah selesai dan kelulusan telah diumumkan. Tidak jauh berbeda dengan kasus surat MK dan kursi DPR, oknum-oknum yang "diuntungkan" telah terlanjur menikmati hasilnya. Wacana ujian ulang bagi siswa di sekolah tersebut malah bisa membuat siswa yang tidak terlibat ikut kesal. Menurut ssya (lagi), tindakannya akan jauh lebih berarti bila dilakukan sebelum Ujian Nasional dilaksanakan. Lagi-lagi, ya, mau diapakan lagi?

Diluar kasus-kasus besar tadi, dalam kehidupan sehari-hari kita (setidaknya saya) sudah sangat akrab dengan urusan keterlambatan. Terlambat bangun tidur, terlambat mengumpulkan tugas, terlambat datang saat janjian, dan entu saja, terlambat mengunggah tulisan disini. Untuk yang terakhir, sepintas efeknya memang tak terlihat besar. Namun bagi saya (sesudah penyesalan yang datang terlambat), kalau saja tulisan ini saya unggah tepat waktu, mungkin saya masih kebagian 'pencarian yang banyak dilakukan' serta 'tag terpanas' di mesin pencari, sehingga (mungkin) saya bisa menggaet banyak pengunjung ke blog ini. Tapi, apa boleh buat, ya, mau diapakan lagi?