Pages

Thursday, December 20, 2012

Kuliah ya...


Setelah dua kali berturut-turut menulis curhatan pribadi, saya ingin mencoba kembali ke jalur awal. Semoga emosi yang agak negatif di tulisan sebelum ini tidak terbawa ke sini. Semoga ini menjadi tulisan yang bisa dinikmati tanpa harus membuat pembacanya menjadi korban curhat sembarangan si penulis.

Tiga minggu ke belakang, saya mendapat sedikit pengalaman yang menyeret saya untuk kembali berpikir kenapa saya memilih kuliah di kampus tempat saya belajar sekarang. Saya kembali bertanya apa sebenarnya yang saya cari di sini. Pengalaman itu terjadi di kelas workshop penulisan karya ilmiah untuk mahasiswa tahun pertama. Seorang mahasiswa asal Afrika yang terkesan agak malas mengikuti kelas wajib tersebut akhirnya menyatakan secara jujur pada asisten dosen di kelas kami, “saya ke sini untuk belajar bisnis, dan menurut saya kelas ini (penulisan karya ilmiah) hanya membuang waktu saya.” Saya terhenyak mendengar pengakuan orang yang duduk di dekat saya itu. Di satu sisi saya agak sebal dengan kelakuan orang itu, tapi di sisi lain saya mengagumi kejujuran dan keberaniannya mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Saya juga salut karena dia sudah mantap dengan tujuan belajarnya di negeri asing.

Jujur, saya tidak sependapat dengan teman (atau rekan, atau apa pun itu –kami belum pernah berkenalan meski belajar di kelas workshop yang sama) tersebut. Setidaknya, percaya atau tidak saya menikmati penulisan makalah, esai, dan tulisan-tulisan semacamnya (termasuk obrolan agak satir yang biasa ada di sini).  Dan buat saya, kelas workshop tersebut adalah ajang refreshing diantara kesibukan belajar intensif Bahasa Jepang empat hari seminggu empat setengah jam sehari. Tapi itulah masalahnya. Memang (setahu saya) tidak ada salahnya menikmati kelas (atau kegiatan apa pun itu) karena sekedar suka. Tapi saya juga ingat kalau belajar itu (seharusnya) ada tujuan akhirnya. Si teman Afrika tadi misalnya, dia sudah mantap menyatakan kuliah di kampus kami untuk belajar bisnis, dan memang kalau tujuannya bekerja di sektor itu, kampus kami bisa dibilang sangat menjamin masa depan dengan tingkat penyerapan lulusan di bursa kerja termasuk tiga besar tertinggi se-Jepang. Tapi seingat saya, tujuan saya bukan itu. Saya tidak ingin selesai kuliah langsung kerja di perusahaan apa pun dari negara mana pun. Seingat saya, saya ingin jadi peneliti maslah sosial, atau pengamat politik, atau pekerjaan lain yang terkesan “ilmiah” dan berhubungan dengan dunia pengetahuan sosial. Sebenarnya ada juga lulusan dari kampus tempat saya kuliah ini yang melanjutkan ke pascasarjana, bahkan ke kampus elit di negara seperti AS. Tapi itu hanya sekitar lima persen dari lulusan tiap tahun. Sepertinya agak berbeda dengan kampus di negeri sendiri tempat saya secara sengaja atau tidak sengaja diterima yang (setahu saya) dihormati sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia dengan banyak lulusan yang melanjutkan pendidikan, kampus saya di Jepang adalah kampus yang berorientasi “dunia nyata”.

Buat sebagian kalangan, kampus saya termasuk cukup disegani karena keberhasilannya menembus bursa kerja di Jepang. Tapi buat sebagian yang lain, kampus ini bukan sebuah dunia akademik, melainkan semata-mata tempat rehat setelah lulus SMA untuk memudahkan masuk kerja setelah lulus. Hal ini saya ketahui dari teman di kelas lain. Kali ini di kelas workshop komunikasi beda bahasa, dimana mahasiswa lokal dan internasional dicampur dan ditugaskan membuat semacam proyek bersama. Pada presentasi proyek, ada grup lain yang menyatakan hal di atas. Naluri sinis saya langsung muncul. Kelompok itu menggunakan kampus kami sebagai semacam represntatsi dari kamus “level menengah”, dibanding kampus-kampus tua yang benar-benar berorientasi akademis kampus kami (kata mereka) termasuk kampus dengan mahasiswa yang mengalami dekadensi pemikiran serta penurunan kualitas. Menurut mereka, banyak mahasiswa lokal (Jepang) di kampus saya yang tida menganggap kampus sebagai dunia akademis. Seratus enam puluh derajat dari mereka, ada saya yang menganggap kampus adalah dunia yang (menurut saya seharusnya) benar-benar akademis. Di kampus saya ada lembaga riset, tapi sebagaimana jumlah lulusan yang melanjutkan studi, popularitas lembaga riset tersebut di kalangan lokal tampak rendah. Bukan sesuatu yang saya apresiasi dari sebuah kampus.

Mungkin saya beruntung dapat dosen yang cukup akademis di kelas yang saya ambil. Dan sementara ini, saya juga merasa masih bisa menemukan hal-hal yang cukup “akademis” untuk dilakukan di sini. Tapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa saya telah masuk ke dunia yang sama sekali berbeda dengan yang saya impikan sebelum lulus SMA, yang sepertinya lebih dekat dengan kampus yang syaa tinggalkan di Indonesia dibanding di sini. Bagaimanapun, ada bagian dari diri saya yang terus bertanya: Kenapa saya kuliah? Di sini? Dan sepertinya saya butuh waktu agak lama untuk menjawabnya. Tidak sekarang.

Monday, November 5, 2012

Mati. Yakin?

Pernah berpikir untuk mati? Jujur saja, bagi saya sendiri, mati adalah topik yang sebisa mungkin tidak ingin saya sentuh di tulisan saya. Bukan takut dibilang agamis atau melodramatis, saya cuma ingin menulis tentang yang hidup-hidup dan hal-hal di sekitar kehidupan itu sendiri. Tapi saya rasa, ada kalanya untuk melanjutkan hidup kita perlu penyegaran tentang tujuan akhir (bagi sebagian orang) atau sekedar akhir (bagi sebagian yang lain). Yang mana pun, kita harus ingat bahwa segala sesuatu pasti berakhir, tinggal masalahnya, apakah akhir itu sesuatu yang mesti cepat-cepat kita kejar, atau malah kita hindari, atau cari jalan tengahnya dengan menjalani hidup ini saja tanpa dalam-dalam memikirkan ujungnya.

Sebelum lanjut (dan sebagai pengantar), saya ingin meminta maaf bila tulisan ini menjadi ajang curhat terselubung dan menjadi terlalu mellow bagi yang membacanya. Sudah sebulan saya tidak menambah menu baru di warung kopi ini. Di luar rutinitas kuliah yang seharusnya bukan alasan untuk tidak produktif, ada masalah pribadi yang membuat saya malas melakukan apa pun selain yang berhubungan dengan masalah tersebut, dan yang bukan kewajiban. Sampai suatu ketika, saya mulai berandai-andai dengan kematian. Saya sudah bilang bahwa mati adalah topik yang tidak terlalu ingin saya bahas. Tapi saya tidak bisa memungkiri kadang dalam kondisi tertentu, ada sesuatu yang terlintas di pikiran: Mungkin mati bisa menyelesaikan masalah ini. Ini tidak terjadi terlalu sering, tapi juga tidak satu dua kali.

Baru-baru ini pikiran serupa kembali lewat di benak saya. Biasanya, saya hanya mendiamkan pikiran seperti itu setelah bermain-main sebentar dengannya tersebut. Toh, agama yang saya anut melarang bunuh diri. Jadinya, ketika pikiran tentang mati itu muncul, ada lapisan yang tiba-tiba mencuat dari dalam diri saya: Bagaimana kalau agama saya itu benar? Saya kan mati untuk keluar dari masalah hidup, apa jadinya kalau setelah mati malah dapat masalah baru yang tidak bisa diselesaikan dengan sekedar mati lagi. Yang berbeda dari pikiran tentang mati yang terbaru ini adalah, tepat ketika pikiran itu sedang kumat ada sebuah pesan masuk di jejaring sosial saya. Seorang kakak kelas menjadi korban dalam kecelakaan bus yang mengangkut rombongan mahasiswa sebuah universitas di Indonesia. Setelah saya mengucapkan belasungkawa (saya termasuk yang duluan mendapat informasi dan mengucapkan belasungkawa), saya melihat puluhan pesan serupa ikut muncul. Setelah itu, ada teman-teman terdekat almarhumah yang memposting pesan-pesan yang intinya kakak kelas saya tadi adalah orang yang sangat istimewa. Saya meminta maaf yang sebesar-besarnya bila ini terdengar kurang manusiawi atau apa, tapi jujur, saat itu saya iri dengan kakak kelas tersebut.

Setiap pesan baru bermunculan, baik yang berupa testimoni maupun sekedar belasungkawa, betapa saya merasa bahwa mati menjadikan seseorang benar-benar istimewa. Saya kembali berandai-andai: Sepertinya mati benar-benar dapat menyelesaikan masalah. Setelah itu, untuk menghadapi "argumen batin" yang biasa muncul, sesuatu yang jarang terlintas (tapi pernah, sesekali) muncul dengan kuat. Bunuh diri itu dilarang, tapi berdoa dan berharap mendapat jalan keluar dari masalah tidak dilarang, bukan? Mungkin jalan keluar itu adalah mati. Mungkin. Ketika itu terlintas lagi di pikiran: Saya ingin. Mati. Mungkin.

Akan tetapi, permainan batin itu ternyata tidak berlangsung lama. Setelah ada kakak kelas lain (sahabat almarhumah) memasang link ke warisan terbesar mendiang kakak kelas saya tadi, sebuah blog, saya kembali terhenyak. Almarhumah bisa dibilang sudah sangat siap menghadapi kematian. Taat beragama, punya prinsip yang jelas, punya kontribusi yang sudah terlihat. Sedangkan saya? Saya berpikir ulang. Kakak kelas saya tadi meskipun siap, tidak pernah terlihat mengharapkan kematian. Mungkin karena kesiapannya itu ia tidak lagi merasa membutuhkan "jalan keluar" yang benar-benar one way dalam menyelesaikan masalah-masalah hidup. Saya jadi ingat sebagian pesan yang ada di postingan obituari yang bersangkutan. Mungkin Sang Pencipta lebih menyayangi kakak kelas saya tadi, sehingga ia dipanggil dalam usia muda, dengan warisan yang sudah cukup untuk membuatnya diingat sebagai orang baik. Saya juga jadi teringat peristiwa beberapa tahun lalu, ketika teman seangkatan saya di SMA berpulang secara mendadak beberapa saat setelah ia menanyakan sesuatu pada saya dalam obrolan yang sangat biasa. Ia juga orang baik dengan cukup kebaikan untuk dikenang. Nah, lho. Bagaimana dengan saya?

Saya jadi pusing sendiri. Mereka itu orang-orang baik, jadi maklum saja respon yang diberikan setelah berpulangnya mereka sangat positif. Warisan yang mereka tingalkan juga membekas. Entah itu tulisan, prinsip, semangat hidup, cita-cita, maupun kesan baik. Sedangkan saya, punya reputasi sebagai orang berlidah (dan bertangan, ketika saya menulis dan mengetik) tajam. Saya belum pernah berpacaran, tapi sudah beberapa kali membuat lawan jenis sakit hati. Saya pernah beberapa kali membuat kesal teman-teman saya. Saya juga pernah mengacaukan acara adik-adik kelas saya. Dan satu lagi, dibanding mereka saya relatif sangat sekuler. Nah, lho! Bagaimana kalau saya mati sekarang? Kalau bukan karena bunuh diri pun, saya jadi takut saya saya akan pergi straight to hell. Amit-amit.

Mau tidak mau saya memutuskan untuk berusaha untuk tetap hidup. Saya akan berusaha menyelesaikan masalah saya hidup-hidup. Kalau pun gagal (semoga tidak, amiin), bila saya hidup saya punya kesempatan megoreksi diri untuk meneruskan kehidupan. Bila saya mati? Siapa yang tahu apa yang terjadi. Yang jelas saya tidak bisa mengoreksi kesalahan saya bila saya mati. Jadi kesimpulannya, ketika terlintas lagi dalam pikiran: Mati. Saya akan langsung menjawab dengan sinis (dan sedikit sarkastis): Yakin?

*In memoriam, kakak kelas dan seorang teman.

Monday, September 17, 2012

Pindah Alamat

Karena satu dan lain hal, setelah berdiri sekitar 2 tahun Kopitiam Mǎn harus pindah alamat, dari alamat semula:

BSD City Sektor XI, Tangerang Selatan, Indonesia

ke alamat baru:

Beppu-shi, Oita-ken, Jepang.

Meski sajian yang ada tetap bisa dinikmati di mana pun dan kapan pun (kecuali saat tidak ada koneksi internet), kepindahan ini mungkin sedikit banyak akan memengaruhi tema-tema sajian yang ada di warung kopi ini. Tapi saya akan berusaha untuk tidak menyimpang terlalu jauh dari jalur yang sudah ada.

Terima kasih.

Tuesday, September 4, 2012

Download Gratis


Tengah bulan ini saya akan berangkat ke Jepang untuk melanjutkan belajar. Salah satu hal yang memusingkan saya menjelang keberangkatan adalah soal bajak membajak perangkat lunak. Kepusingan saya yang pertama adalah soal perangkat lunak bajakan yang sudah “terlanjur” berserakan di laptop saya. Saya menggunakan OS genuine, tapi hampir seluruh software lain di laptop saya berasal dari toko software bajakan atau situs-situs berbagi pakai yang memungkinkan orang-orang mengunduh secara gratis perangkat lunak yang disimpan di sana. Saya menjadi pusing karena kabarnya ada kemungkinan razia software bajakan saat transit di Singapura, meski kemungkinannya tidak besar. Kepusingan saya yang kedua adalah soal unduh mengunduh di masa depan. 

Setelah Amerika Serikat mengesahkan hukum soal bajak membajak (PIPA dan apalah namanya) yang berhasil menjerat salah satu situs berbagi pakai popular, Megaupload, kabarnya Jepang akan memberlakukan hukum semacam itu pada Oktober 2012. Kabarnya lagi, hukum itu bahkan bisa menjerat individu yang mengunduh konten bajakan dari internet. Terbayang oleh saya sekitar empat tahun ke depan (atau lebih kalau saya ternyata tinggal lebih lama di sana) saya harus menabung uang hasil kerja sambilan untuk membeli software game baru, atau CD music yang saya inginkan. Ya, seharusnya memang seperti itu, tapi saya sudah terlanjur terbiasa dengan situs berbagi pakai yang menyediakan tombol download yang tinggal di klik.

Mungkin generalisasi saya keterlaluan. Tapi sepengetahuan saya, saya hanya satu dari sekian banyak orang Indonesia yang melek internet dan menjadi sosialis-komunis dadakan ketika tertarik dengan software dan konten tertentu yang bisa diunduh secara cuma-cuma. Saya termasuk golongan melek internet yang kadang terlalu melek, sehingga bisa mengeksploitasi search engine untuk menemukan file untuk diunduh dengan mudah. Saya juga satu dari sekian banyak orang yang ketika menemukan bahwa file yang ingin saya download terlalu besar untuk diunduh secara konvensional, malah kembali membuka search engine untuk menemukan cara untuk mengakali situs berbagi pakai agar saya bisa mengunduh secara premium. Secara ilegal.

Saya tidak bangga dengan “kemampuan” bajak membajak saya. Seperti pada tulisan sebelumnya, saya tahu yang saya lakukan ini salah. Saya juga bertekad suatu saat ketika saya mampu membeli aplikasi dan konten dari internet secara legal, saya akan mencoba berhenti membajak konten dari internet. Tapi itu nanti. Semoga itu benar-benar bisa terlaksana. Ngomong-ngomong, kembali ke atas, saya memang sedang bereksperimen dengan judul tulisan ini. Beberapa waktu lalu, teman sekamar saya di asrama berhasil menaikkan jumlah pengunjung di blognya dengan cara menaruh konten untuk di download secara gratis. Ssh, jangan curiga dulu, yang ia letakkan di blog untuk diunduh oleh masyarakat umum adalah wallpaper yang ia desain sendiri (saya tak ambil pusing dengan aplikasi desain yang ia gunakan, pokoknya konten yang ia pajang untuk didownload adalah hasil kerjanya sendiri). Nah, saya belum bisa menyediakan konten atau aplikasi atau musik dan semacamnya. Yang ada di blog ini hanya tulisan-tulisan yang entah bermanfaat atau tidak, tapi tetap saja, silakan download di sini.

Saturday, August 4, 2012

Puasa!


Bulan Ramadhan, bulan puasa. Ada yang bilang kita harus jaga hati, jaga pikiran, jaga ucapan, jaga mata, dan jaga-jaga yang lain. Jadi, pada tulisan ini saya tidak akan protes pada siapa pun, tentang apa pun. Saya tidak akan mengkritik orang lain di tulisan ini. Biarlah, mumpung Ramadhan saya bisa mencoba bercermin, melihat baik-busuknya diri saya sendiri.

Tahun lalu, juga di bulan Ramadhan, saya menulis tentang betapa saya kurang bisa menghayati Ramadhan sebagai bulan yang dimaksudkan untuk melatih manusia menahan nafsu. Bukannya hidup sederhana di bulan puasa, saya malah menjelma menjadi seorang hedonis yang balas dendam ketika berbuka puasa. Syukurlah, saya cukup berhemat di Ramadhan tahun ini, mungkin karena saya sudah beberapa bulan meninggalkan kehidupan asrama dan sudah kembali beradaptasi dengan dunia normal, tidak seperti Ramadhan tahun lalu dimana saya menghabiskan setengah durasi bulan puasa dengan makan seadanya lalu ketika pulang menjelang lebaran saya mengila. Ya, setidaknya saya tidak perlu menulis tentang hal yang sama dua kali.
Ketika membicarakan Ramadhan, seorang muslim tentu mengaitkannya dengan menahan nafsu, menambah ibadah, dan pada akhirnya mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Saya tak berniat membuat tulisan ini menjadi terlalu religius, walau tak dapat dipungkiri pasti ada muatan-muatan religi yang mau tidak mau masuk ke sini.

Jujur saja, bila definisi sukses di bulan Ramadhan adalah sukses menambah porsi ibadah menjadi dominan dalam kehidupan sehari-hari sembari menghindari berbuat dosa (atau apa pun yang diawali nafsu), saya tidak (atau setidaknya belum, semoga) bisa dibilang sukses menjalani Ramadhan. Saya sudah menambah porsi ibadah, dari malas-malasan mengerjakan selain yang wajib menjadi agak sedikit malas. Pada akhirnya jadwal tadarus saya keteteran beberapa juz, padahal saya sudah curi start lima juz sebelum bulan puasa. Untuk ibadah malam, so-so lah, setidaknya tarawih saya belum bolong (walaupun ada yang sendirian di rumah, atau ikut berjamaah di masjid tapi shalatnya setengah sadar). Ya, at least ada peningkatan. At least.

Yang jadi masalah adalah, saya masih merasa sulit meninggalkan kebiasaan-kebiasaan sekuler saya. Membajak video game, menguduh lagu bajakan, membaca komik di internet (lagi-lagi bajakan) yang sedikit banyak pasti mengandung fan service, dan perbuatan-perbuatan sekuler lain yang seharusnya di luar Ramadhan pun ditinggalkan malah terbawa ke Ramadhan. Parahnya, jadwal yang senggang di bulan puasa malah mejadi sarana untuk melakukan hal-hal tersebut. Saya ingin bisa meninggalkan yang semacam itu. Sungguh. Tapi ya, pada akhirnya ketika ego saya kumat saya akan beralasan dengan mengutip lirik salah satu lagu Efek Rumah Kaca yang berjudul Debu-Debu Berterbangan:

Demi masa, sungguh kita tersesat
Membiaskan yang haram
Karena kita manusia
...
Karena kita manusia, ya, karena saya manusia. Manusia pasti punya nafsu, jadi meski setan-setan konon dibelenggu selama Ramadhan, ada saja alasan untuk berbuat yang tak patut. Oh iya, tentu saja lagu tadi adalah lagu bajakan yang saya unduh dari internet, sebelum Ramadhan kok.

Thursday, June 28, 2012

Toleransi Bus Kota

Ini konsekuensi menulis sesempatnya, waktu tulisan diposting wacananya sudah dingin lagi. Ya, masih lebih baik dari tidak ditulis, lah. Anggap saja ini semacam jurnal bulanan. Beberapa waktu lalu, ada wacana di media massa nasional bahwa salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa menilai toleransi keagamaan di Indonesia terbilang buruk. Saat itu, pernyataan tersebut seakan didukung oleh serangkaian kejadian yang dikait-kaitkan dengan konflik agama. Ada penyerangan yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan kelompok mayoritas terhadap salah satu sekte yang dianggap sesat (sepertinya tak perlu disebutkan organisasi apa yang menyerang dan apa yang diserang), ada juga pertentangan jemaat kelompok agama tertentu dengan warga di daerah tertentu karena kelompok jemaat tersebut merasa hak mereka untuk beribadah dikekang (lagi-lagi saya rasa tak perlu menyebutkan kelompok mana dengan warga daerah mana yang bertentangan). Kejadian-kejadian tersebut diperparah oleh beberapa media yang secara sistematis menggiring opini masyarakat sesuai kepentingan masing-masing. Jadilah ketika wacana dari PBB tentang toleransi di Indonesia, sekilas sulit untuk mengingkari tuduhan tersebut.

Meski beberapa surat kabar telah merilis data statistik mengenai pertumbuhan rumah ibadah berbagai agama di Indonesia, toleransi antarumat beragama saat perayaan-perayaan tertentu,  dan data-data semacamnya, ada saja anggota masyarakat baik pembaca yang mengirim opini ke surat kabar maupun editor surat kabar itu sendiri yang memanas-manasi situasi. Bila hanya membanding-bandingkan opini satu surat kabar dengan yang lain memang ada kesan bahwa kalaupun tidak sampai intoleran, konflik atau bibit-bibit konflik keagamaan selalu ada di Indonesia. 

Padahal, masih ada sisi lain masyarakat yang jarang terekspos oleh media massa. Sisi-sisi di mana toleransi berlangsung tiap hari tanpa gangguan berarti. Salah satu contoh yang paling jelas dan menarik adalah pengamen bus kota di daerah Jakarta dan sekitarnya. Suatu ketika, saya dan seorang teman naik bus dari arah Salemba ke Ciputat. Ada seorang wanita setengah baya yang mengucap salam secara kristiani lalu melantunkan beberapa lagu yang islami. Ketika itu saya mengamati di dalam bus ada beberapa penumpang beragama Kristen atau Katolik diantara mayoritas penumpang yang beragama Islam. Tak ada yang protes. Bukannya saya bersikap liberal atau apa, hanya saja kalau yang dikatakan di koran-koran tentang intoleransi Indonesia benar, pasti sudah ada perang saudara di bus tersebut. Pada kesempatan lain saya naik bus jurusan dari arah Senen ke Cibinong. Seorang pengamen menyanyikan lagu Seperti yang Kau Ingini yang jelas-jelas lagu rohani Kristen di bus yang mayoritas penumpangnya (sepertinya) muslim. Tak ada yang protes. Bahkan tidak sedikit penumpang yang memberi uang pada pengamen itu. Begitu pula ketika ada pengamen yang bershalawat di bus yang menuju Blok M. Semua damai.

Opini di media yang dikendalikan oknum-oknum yang memiliki kepentingan kadang tidak bersifat netral. Meski di halaman pertama memajang data statistik tentang toleransi, di halaman opini media yang sama memasang tulisan yang isinya seolah mewakili pihak-pihak yang berkonflik. Padahal, belum tentu pihak-pihak tersebut merasa terwakili. Mungkin suatu waktu daripada membaca seluruh koran pagi dan membandingkan opini-opini yang dimuat, ada baiknya perwakilan PBB atau lembaga mana pun yang mengatakan Indonesia intoleran diajak naik bus kota keliling Jabodetabek. Jika beruntung, mereka akan menemukan dua kelompok pengamen yang sama-sama menyanyikan lagu rohani tapi beda agama, di bus yang sama. Mungkin juga mereka akan melihat bagaimana seorang penumpang berkalung dan bergelang salib beramah tamah dengan penumpang lain yang merupakan muslimah berjilbab. Atau bisa juga seorang pelajar muslim memberi tempat duduk pada biarawati setengah baya.

Wednesday, June 13, 2012

Anonim

Setiap akan bepergian sendiri naik kendaraan umum, saya hampir selalu menyediakan dua hal: pemutar mp3 berisi lagu-lagu bajakan koleksi saya lengkap dengan earphone, dan novel untuk dibaca. Ternyata saya tidak sendiri. Memang saya jarang menemukan orang lain membaca novel di kendaraan umum, tapi saya nyaris selalu menemukan penumpang lain dengan earphone terpasang di telinga. Seperti saya, mereka pun hanya melepas earphone saat menjawab panggilan di ponsel atau ketika terpaksa bertanya tentang kendaraan apa atau rute mana yang harus ditempuh berikutnya untuk melanjutkan perjalanan.
Entah untuk alasan apa, kami (saya dan orang-orang dengan kebiasaan yang sama meski kami tak mengenal satu sama lain) memilih tenggelam di dunia sendiri. Dan kami, atau setidaknya saya pribadi merasa nyaman di sana. Sebuah dunia di mana saya tidak diganggu, Sebuah dunia di mana saya tidak mengganggu (atau tidak merasa telah mengganggu) siapa pun. Untuk saya, kadang saya merasa keadaan itu ideal.
Jujur, saya termasuk orang yang memiliki masalah dalam menjalin komunikasi informal dengan orang baru. Seorang psikolog yang saya tanyai mengatakan mungkin hal itu berhubungan dengan kebiasaan saya mengamati dengan cermat orang-orang di sekitar, khususnya mereka yang baru saya temui tanpa menunjukkan kesan hangat dan ramah (saya selalu mencoba ramah, tapi kecuali saya benar-benar tersenyum dengan lebar dan tulus, orang yang baru mengenal saya selalu mengatakan bahwa wajah saya menunjukkan kesan tak ramah). Mungkin itu ada benarnya. Saya kerap, sadar atau setengah sadar, menatap orang lain dari kepala ke kaki, lalu mengacuhkannya kembali. Dalam kondisi tertentu saya akan menyapa, tapi lebih sering saya kembali asik sendiri.
Tanpa earphone terpasang, saya biasa dibilang sinis, dingin, atau apalah karena tatapan saya yang (kata orang) menusuk. Nah, dengan earphone terpasang, saya bisa dengan tenang masuk ke dunia saya sendiri, dimana saya sendiri tidak ada. Saya bisa mengamati orang-orang anonim (siapa pun yang kita temui dan tak pernah berkenalan dengannya bisa kita anggap anonim, bukan?), dan saya tetap anonim (karena saya bahkan tak menganggap diri saya ada ketika itu, hanya tokoh-tokoh di novel, narasi lirik lagu, dunia visual berisi bus kota berisi orang-orang anonim melaju di jalan raya berdebu dengan gedung bertingkat dan pemukiman kumuh silih berganti di pinggir jalan, dan mungkin seonggok “manusia” yang kadang mengganggu penumpang lain karena tubuh yang cukup besar –tubuh saya).
Itulah alasan saya membaca novel dan memasang earphone di ruang publik. Mungkin orang-orang berearphone yang lain memiliki alasan masing-masing yang berbeda dengan saya. Kami punya dunia sendiri. Bukan asosial,  hanya mencoba mengakomodasi kebutuhan bersama. Kebutuhan orang lain akan rasa nyaman yang kadang tak sengaja saya usik, dan kebutuhan untuk tidak dicap sinis seharian oleh orang yang tidak atau baru saya kenal.

Thursday, March 1, 2012

Sejarah, Oh, Sejarah (bagian akhir)


Akhirnya saya sampai ke bagian terakhir tugas tulisan sejarah saya. Sebelum memulai bagian ini, saya ingin mengingatkan bahwa yang sedang saya tulis bukanlah buku teks sejarah, melainkan bahasan mengenai masalah-masalah kesejarahan yang meski didukung berbagai data dan fakta tetap saja berangkat dari opini saya sendiri. Toh, ini tidak jauh berbeda dari mereka yang “menulis sejarah”. Meski didasari oleh data (kadang fakta), pada akhirnya sejarah dibumbui (saya tidak yakin apakah “didukung” atau “diperkuat”  merupakan kata yang tepat di sini) dengan opini sang penulis. Sejarah ditulis oleh pemenang.

Saat ini secara umum (dan konvesional) Indonesia memiliki tiga periode politik pascakemerdekaan. Dimulai dengan Orde Lama (nama yang belum ada saat itu) dengan Soekarno sebagai pusat, Orde Baru pimpinan Soeharto, dan masa reformasi setelah jatuhnya Soeharto dari kepresidenan. Pada masa jayanya, pimpinan tiap periode dinilai ideal oleh rakyat. Ambil contoh Soekarno yang bertahun-tahun berkuasa meski terjadi banyak masalah dalam dan luar negeri. Saat itu, yang salah bukan Soekarno, melainkan perdana menteri yang memimpin kabinetnya masing-masing. Saat Soekarno dikabarkan sakit keras, barulah terjadi peristiwa yang cukup kuat untuk mengakomodasi naiknya pemimpin baru. Soeharto naik dan mendirikan Orde Baru. 

Dengan naiknya pemimpin baru, sebagian kebijakan Soekarno tiba-tiba berubah dari ideal menjadi “bahaya laten” yang bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara. Figur Soeharto beserta kebijakan-kebijakannya dinilai ideal oleh masyarakat, sedangkan Soekarno dan Orde Lamanyanya segera beralih menjadi masa lalu yang seharusnya dilupakan. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa tanpa ada masalah yang berarti. Lagi-lagi, baru setelah Soeharto cukup renta, muncul peristiwa yang cukup kuat untuk melengserkan beliau dari istana. Dengan cepat pula, Orde Baru berubah dari arah perkembangan negara yang ideal menjadi sejarah kelam Indonesia. Sejarah versi reformasi mengubah “keamanan, ketertiban, dan ketentraman” di masa Orde Baru menjadi “aparat intel dan oknum militer yang melanggar HAM hanya dengan menjalankan tugas mereka”. Selain itu, “keberhasilan program pembangunan lima tahun” segera berubah menjadi “pembangunan yang tidak disertai dengan pengawasan dan pemerataan sehingga menimbulkan penyelewengan kekuasaan serta ketimpangan sosial ekonomi.” Dengan beralihnya kekuasaan, beralih pula hak penulisan sejarah.

Periode reformasi dinilai (saat ini, secara konvensional, termasuk oleh “kekuatan” di luar negeri) sebagai langkah yang tepat dalam perkembangan negara Indonesia. Demokrasi menjadi benar-benar demokrasi (setidaknya, demokrasi versi para “pejuang demokrasi” di Barat sana). Bukan lagi demokrasi terpimpin di masa Orde Lama, mapun demokrasi “palsu” di masa Orde Baru. Buku-buku teks sejarah sekarang pun mulai membicarakan sisi postif dan negatif periode-periode politik sebelumnya (meskipun akhirnya malah membuat buku teks akademis terkesan mirip cerita fiksi yang dramatis. 

Saat ini, dengan pergantian pemimpin yang relatif rutin cenderung tidak ada pihak dominan yang bisa menentukan arah penulisan sejarah Indonesia. Namun, sejarah memiliki peran lain di luar buku teks. Politikus yang bertarung memperebutkan tampuk kepemimpinan kerap menggunakan sejarah untuk menyerang lawan politiknya sekaligus membenarkan tindakannya. Begitulah sejarah, sebuah ilmu (yang saya sendiri lebih suka menyebutnya ilmu semu). Sejarah berangkat dari data, tapi harus diingat bahwa hasil akhirnya adalah milik sang penulis.