Pages

Sunday, February 26, 2012

Sejarah, Oh, Sejarah (bagian kedua)

Apa persamaan Amir Sjarifuddin dan S.M. Kartosoewirjo? Keduanya adalah tokoh pergerakkan. Keduanya juga orang dekat Soekarno. Keduanya berakhir sebagai “pemberontak”. Keduanya merupakan “korban” perjanjian Renville.

Seperti yang saya diskusikan pada tulisan sebelumnya, sejarah ditulis oleh pemenang. Sejarah kerap tidak hanya berisi kebenaran, tapi juga pembenaran. Pelaku sejarah bisa berganti peran sesuai dengan pemegang keuasaan yang berhak menulis sejarah. Seorang pahlawan di suatu bab di buku teks sejarah dapat menjelma jadi penjahat di bab berikutnya, tergantung penguasa yang memutuskan mengambil sudut pandang mana dalam menceritakan suatu peristiwa pada masanya.

Pergerakan Indonesia serta perjuangan mempertahankan kemerdekaan merupakan bagian yang menarik dalam sejarah Indonesia. Sebagai sebuah negara baru yang merupakan gabungan pemerintahan-pemerintahan kecil yang dihubungkan oleh nasib dengan penjajahan Belanda di Nusantara, Indonesia memiliki tokoh-tokoh dengan latar belakang serta pemikiran yang majemuk. Membicarakan ke-Indonesiaan bukan berarti hanya membahas nasionalisme dan Pancasila. Paham-paham lain seperti Islam, komunisme, sosialisme, dan paham-paham lain punya andil dalam pergerakan Indonesia. Meski begitu, pada akhirnya ada paham yang harus “unggul” dari paham yang lain. Hasilnya, ada tokoh-tokoh penganut paham yang tidak sesuai dengan pemerintah yang harus menjadi korban sejarah.

Setelah proklamasi tahun 1945, perjuangan Indonesia masih jauh dari tuntas. Setelah Jepang yang kalah dalam PD II hengkang dari Indonesia, Belanda sebagai salah satu pemenang perang dunia berhasrat untuk mendaptkan kembali jajahannya di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Perlawanan dilakukan oleh kaum republiken Indonesia yang masih majemuk baik secara fisik maupun diplomatik. Perjanjian yang sebenarnya sudah merugikan pihak Indonesia masih dilanggar oleh pihak Belanda dengan agresi militer pertama Juli 1947. Hal ini selain menyebabkan berlarut-larutnya upaya penyelesaian konflik Indonesia-belanda, juga mengganggu pemerintahan dalam negeri Indonesia. Kabinet Sjahrir yang menyetujui Perjanjian Linggarjati harus mundur dan digantikan oleh kabinet Amir Sjarifuddin.

Amir Sjarifuddin menjabat perdana menteri untuk waktu yang relatif singkat. Ia naik menggantikan Sjahrir pada Juli 1947, dan “dipaksa” turun setelah Perjanjian Renville pada Januari 1948. Ia dianggap bertanggung jawa atas Perjanjian Renville yang dinilai merugikan Indonesia. Rival politik Amir, Hatta, menggantikannya sebagai perdana menteri. Amir Sjarifuddin yang terdepak dari jabatannya membentuk Front Demokrasi Rakyat, sebuah organisasi beraliran kiri yang cenderung radikal. Front ini “mengganggu” pemerintahan Hatta yang dinilai Amir tidak memuaskan. Musso, tokoh komunis yang dibuang ke Russia sebelum kemerdekaan Indonesia kembali ke Indonesia dan bersama Amir Sjarifuddin membentuk Soviet Republik Indonesia, yang menurut mereka menjadi solusi atas masalah Indonesia. Dalam kurun satu tahun, amir Sjarifuddin beralih dari pemimpin negara menjadi pemberontak yang memimpin makar.

Selain dari golongan kiri, Perjanjian Renville juga berpengaruh pada salah satu gerakan keislaman. S.M. Kartosoewirjo yang sampai Perundingan Linggarjati masih menduduki posisi tinggi di Masyumi yang merupakan salah satu partai politik terbesar saat itu, mendeklarasikan beridirinya Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo menjadi salah satu pimpinan Masyumi yang ditugaskan di Jawa Barat. Setelah Perundingan Linggarjati, Kartosoewirjo termasuk salah satu tokoh yang menjadi angota komite eksekutif yang ikut serta dalam sidang KNIP untuk membahas keabsahan hasil perundingan tersebut. Tahun berikutnya, ketika Indonesia menandatangani Perjanjian Renville yang menyetujui garis Van Mook sebagai batas wilayah Indonesia-Belanda dan harus mengeluarkan kekuatan militernya dari Jawa Barat, Kartosoewirjo yang tidak puas dengan keputusan itu memutuskan untuk melakukan makar. Mendirikan negara Islamnya sendiri.

Amir Sjarifuddin cukup “populer” di buku teks sejarah. Ia adalah salah satu politikus yang punya andil dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Amir merupakan salah satu tokoh kiri yang menentang kolaborasi dengan Jepang. Diluar kontroversi soal keyakinan pribadinya (ia pindah dari Islam ke Kristen), ia cukup dihormati di kalangan politikus yang terlibat dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sedangkan, Kartosoewirjo adalah salah satu organisator Masyumi (untuk alasan yang tidak diketahui, buku teks sejarah sangat jarang menuliskan hal ini) yang pernah tinggal bersama Soekarno di rumah guru mereka, H.O.S. Cokroaminoto. Penunjukan Kartosoewirjo sebagai anggota komite eksekutif menunjukkan kedekatannya dengan pemerintahan pimpinan Soekarno. Perjanjian Renville menjadi titik balik hidup (dan kelak cerita sejarah) kedua tokoh tersebut. Atas nama tegaknya kedaulatan Republik Indonesia, Amir Sjarifuddin ditembak mati pada Desember 1948 dan Kartosoewirjo menyusul pada 1962. Di akhir hayatnya, kedua tokoh pergerakan tersebut menyandang status pemberontak.

Tuesday, February 14, 2012

Sejarah, Oh, Sejarah (bagian pertama)


Sebenarnya sejarah bukanlah hal yang ingin saya diskusikan panjang lebar di blog ini. Jujur saja, saya lebih senang menulis dan membahas fenomena-fenomena di masyarakat yang kini-kini saja, yang masih hangat. Tapi, begitu saya mendapat tugas membuat tiga tulisan mengenai sejarah, saya memustuskan untuk menulisnya di sini. Toh, warung kopi ini sudah lama tak beraktivitas karena beberapa bulan terakhir saya selalu punya alasan untuk tidak menulis. Semau apa pun saya.

Meski pada kelas satu SMA saya (dan siswa kelas satu SMA lain se-Indonesia saat itu) didoktrin bahwa sejarah yang ada di buku sejarah itu adalah sebuah ilmu (science), saya masih menyangsikan “kebenaran-kebenaran” yang ada di buku-buku teks sejarah. Buat saya, sejarah lebih tepat disebut sebagai sebuah ilmu semu (pseudo-science). Walaupun di buku-buku teks tercantum ciri-ciri ilmu yang sesuai dengan ilmu sejarah versi buku teks tersebut termasuk metode penelitian dan sebagainya, pada akhirnya interpretasi atas data yang ditemukan tergantung pada si sejarawan. Itu pun kalau data hasil penelitiannya benar-benar asli (saya suka membedakan data yang 'asli' dengan 'valid', karena yang 'asli' hanyalah yang benar-benar benar, sedangkan yang 'valid' statusnya bergantung pada siapa yang menentukan validitasnya), bukan hasil rekayasa atau “pengaslian” oleh pihak-pihak tertentu. Seorang filsuf (saya lupa namanya dan saya sedang terlalu malas untuk mencari buku teks sejarah kelas satu SMA) mengakui bahwa, “sejarah ditulis oleh pemenang.” Dengan kata lain, apa yang dainggap benar oleh “sejarah” hanyalah apa yang dianggap benar oleh pihak pemenang konflik yang diceritakan oleh sejarah itu tadi.

Di Indonesia, salah satu bahasan buku teks sejarah yang dapat mencerminkan “pemaksaan sejarah” adalah mengenai peristiwa yang menjadi titik balik rezim Orde Lama sekaligus awal naiknya Orde Baru. Buku-buku teks sejarah menceritakan G30S/PKI sebagai 'pengkhianatan' atau 'pemberontakan' yang dilakukan oleh salah satu keuatan politik besar di Indonesia pada masa itu. Partai Komunis Indonesia disebut-sebut sebagai dalang dari “peristiwa mengenaskan” yang menewaskan sepuluh (atau sembilan?) orang perwira TNI. Meski buku teks sejarah saat ini kerap memuat beberapa teori tentang asal-usul peristiwa tersebut, tetap saja di buku-buku itu PKI-lah yang pada akhirnya (atau pada awal sub-babnya) bertanggung jawab atas peristiwa G30S. Saya bukan simpatisan PKI maupun penganut komunisme, tapi mau tidak mau saya merasa ada yang janggal ketika buku teks sejarah menuliskan, “Penanganan dan stabilisasi kondisi pasca G30S/PKI dilakukan sebisa mungkin dengan tidak menimbulkan banyak korban.” Padahal, banyak sumber data (yang semuanya 'valid' tapi entah yang mana yang 'asli') menyebutkan bahwa korban jiwa dari pemberangusan paham komunisme di Indonesia  mencapai ribuan jiwa, belum mencakup orang-orang yang dipenjara atau diasingkan karena menjadi simpatisan atau memiliki indikasi pemikiran mengarah ke komunisme. Yang jelas, setelah G30S/PKI, TNI Angkatan Darat berhasil memangkas habis kekuatan salah satu lawan politik mereka. Konflik antarkekuatan politik di akhir rezim Orde Lama dimenangkan oleh TNI AD, yang kemudian salah satu jenderalnya menjadi presiden RI dan menulis sejarah, menjadikan komunisme dan PKI akar kerusakan di Indonesia masa itu.

Masih ada beberapa kejadian menarik di buku teks sejarah yang saling berkontradiksi satu sama lain. Seorang pahlawan di suatu bab akan menjadi pengkhianat di bab lain. Pada akhirnya, buku teks sejarah penuh intrik yang tingkatnya kadang melebihi karya fiksi (dengan asumsi buku teks sejarah adalah karya yang setidaknya semi ilmiah). Namun, saya tidak akan memasukkan hal-hal tersebut di tulisan ini. Karena kalau begitu saya bisa kehabisan bahan untuk tugas saya yang masih dua tulisan lagi.