Pages

Thursday, June 28, 2012

Toleransi Bus Kota

Ini konsekuensi menulis sesempatnya, waktu tulisan diposting wacananya sudah dingin lagi. Ya, masih lebih baik dari tidak ditulis, lah. Anggap saja ini semacam jurnal bulanan. Beberapa waktu lalu, ada wacana di media massa nasional bahwa salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa menilai toleransi keagamaan di Indonesia terbilang buruk. Saat itu, pernyataan tersebut seakan didukung oleh serangkaian kejadian yang dikait-kaitkan dengan konflik agama. Ada penyerangan yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan kelompok mayoritas terhadap salah satu sekte yang dianggap sesat (sepertinya tak perlu disebutkan organisasi apa yang menyerang dan apa yang diserang), ada juga pertentangan jemaat kelompok agama tertentu dengan warga di daerah tertentu karena kelompok jemaat tersebut merasa hak mereka untuk beribadah dikekang (lagi-lagi saya rasa tak perlu menyebutkan kelompok mana dengan warga daerah mana yang bertentangan). Kejadian-kejadian tersebut diperparah oleh beberapa media yang secara sistematis menggiring opini masyarakat sesuai kepentingan masing-masing. Jadilah ketika wacana dari PBB tentang toleransi di Indonesia, sekilas sulit untuk mengingkari tuduhan tersebut.

Meski beberapa surat kabar telah merilis data statistik mengenai pertumbuhan rumah ibadah berbagai agama di Indonesia, toleransi antarumat beragama saat perayaan-perayaan tertentu,  dan data-data semacamnya, ada saja anggota masyarakat baik pembaca yang mengirim opini ke surat kabar maupun editor surat kabar itu sendiri yang memanas-manasi situasi. Bila hanya membanding-bandingkan opini satu surat kabar dengan yang lain memang ada kesan bahwa kalaupun tidak sampai intoleran, konflik atau bibit-bibit konflik keagamaan selalu ada di Indonesia. 

Padahal, masih ada sisi lain masyarakat yang jarang terekspos oleh media massa. Sisi-sisi di mana toleransi berlangsung tiap hari tanpa gangguan berarti. Salah satu contoh yang paling jelas dan menarik adalah pengamen bus kota di daerah Jakarta dan sekitarnya. Suatu ketika, saya dan seorang teman naik bus dari arah Salemba ke Ciputat. Ada seorang wanita setengah baya yang mengucap salam secara kristiani lalu melantunkan beberapa lagu yang islami. Ketika itu saya mengamati di dalam bus ada beberapa penumpang beragama Kristen atau Katolik diantara mayoritas penumpang yang beragama Islam. Tak ada yang protes. Bukannya saya bersikap liberal atau apa, hanya saja kalau yang dikatakan di koran-koran tentang intoleransi Indonesia benar, pasti sudah ada perang saudara di bus tersebut. Pada kesempatan lain saya naik bus jurusan dari arah Senen ke Cibinong. Seorang pengamen menyanyikan lagu Seperti yang Kau Ingini yang jelas-jelas lagu rohani Kristen di bus yang mayoritas penumpangnya (sepertinya) muslim. Tak ada yang protes. Bahkan tidak sedikit penumpang yang memberi uang pada pengamen itu. Begitu pula ketika ada pengamen yang bershalawat di bus yang menuju Blok M. Semua damai.

Opini di media yang dikendalikan oknum-oknum yang memiliki kepentingan kadang tidak bersifat netral. Meski di halaman pertama memajang data statistik tentang toleransi, di halaman opini media yang sama memasang tulisan yang isinya seolah mewakili pihak-pihak yang berkonflik. Padahal, belum tentu pihak-pihak tersebut merasa terwakili. Mungkin suatu waktu daripada membaca seluruh koran pagi dan membandingkan opini-opini yang dimuat, ada baiknya perwakilan PBB atau lembaga mana pun yang mengatakan Indonesia intoleran diajak naik bus kota keliling Jabodetabek. Jika beruntung, mereka akan menemukan dua kelompok pengamen yang sama-sama menyanyikan lagu rohani tapi beda agama, di bus yang sama. Mungkin juga mereka akan melihat bagaimana seorang penumpang berkalung dan bergelang salib beramah tamah dengan penumpang lain yang merupakan muslimah berjilbab. Atau bisa juga seorang pelajar muslim memberi tempat duduk pada biarawati setengah baya.

Wednesday, June 13, 2012

Anonim

Setiap akan bepergian sendiri naik kendaraan umum, saya hampir selalu menyediakan dua hal: pemutar mp3 berisi lagu-lagu bajakan koleksi saya lengkap dengan earphone, dan novel untuk dibaca. Ternyata saya tidak sendiri. Memang saya jarang menemukan orang lain membaca novel di kendaraan umum, tapi saya nyaris selalu menemukan penumpang lain dengan earphone terpasang di telinga. Seperti saya, mereka pun hanya melepas earphone saat menjawab panggilan di ponsel atau ketika terpaksa bertanya tentang kendaraan apa atau rute mana yang harus ditempuh berikutnya untuk melanjutkan perjalanan.
Entah untuk alasan apa, kami (saya dan orang-orang dengan kebiasaan yang sama meski kami tak mengenal satu sama lain) memilih tenggelam di dunia sendiri. Dan kami, atau setidaknya saya pribadi merasa nyaman di sana. Sebuah dunia di mana saya tidak diganggu, Sebuah dunia di mana saya tidak mengganggu (atau tidak merasa telah mengganggu) siapa pun. Untuk saya, kadang saya merasa keadaan itu ideal.
Jujur, saya termasuk orang yang memiliki masalah dalam menjalin komunikasi informal dengan orang baru. Seorang psikolog yang saya tanyai mengatakan mungkin hal itu berhubungan dengan kebiasaan saya mengamati dengan cermat orang-orang di sekitar, khususnya mereka yang baru saya temui tanpa menunjukkan kesan hangat dan ramah (saya selalu mencoba ramah, tapi kecuali saya benar-benar tersenyum dengan lebar dan tulus, orang yang baru mengenal saya selalu mengatakan bahwa wajah saya menunjukkan kesan tak ramah). Mungkin itu ada benarnya. Saya kerap, sadar atau setengah sadar, menatap orang lain dari kepala ke kaki, lalu mengacuhkannya kembali. Dalam kondisi tertentu saya akan menyapa, tapi lebih sering saya kembali asik sendiri.
Tanpa earphone terpasang, saya biasa dibilang sinis, dingin, atau apalah karena tatapan saya yang (kata orang) menusuk. Nah, dengan earphone terpasang, saya bisa dengan tenang masuk ke dunia saya sendiri, dimana saya sendiri tidak ada. Saya bisa mengamati orang-orang anonim (siapa pun yang kita temui dan tak pernah berkenalan dengannya bisa kita anggap anonim, bukan?), dan saya tetap anonim (karena saya bahkan tak menganggap diri saya ada ketika itu, hanya tokoh-tokoh di novel, narasi lirik lagu, dunia visual berisi bus kota berisi orang-orang anonim melaju di jalan raya berdebu dengan gedung bertingkat dan pemukiman kumuh silih berganti di pinggir jalan, dan mungkin seonggok “manusia” yang kadang mengganggu penumpang lain karena tubuh yang cukup besar –tubuh saya).
Itulah alasan saya membaca novel dan memasang earphone di ruang publik. Mungkin orang-orang berearphone yang lain memiliki alasan masing-masing yang berbeda dengan saya. Kami punya dunia sendiri. Bukan asosial,  hanya mencoba mengakomodasi kebutuhan bersama. Kebutuhan orang lain akan rasa nyaman yang kadang tak sengaja saya usik, dan kebutuhan untuk tidak dicap sinis seharian oleh orang yang tidak atau baru saya kenal.