Pages

Monday, November 5, 2012

Mati. Yakin?

Pernah berpikir untuk mati? Jujur saja, bagi saya sendiri, mati adalah topik yang sebisa mungkin tidak ingin saya sentuh di tulisan saya. Bukan takut dibilang agamis atau melodramatis, saya cuma ingin menulis tentang yang hidup-hidup dan hal-hal di sekitar kehidupan itu sendiri. Tapi saya rasa, ada kalanya untuk melanjutkan hidup kita perlu penyegaran tentang tujuan akhir (bagi sebagian orang) atau sekedar akhir (bagi sebagian yang lain). Yang mana pun, kita harus ingat bahwa segala sesuatu pasti berakhir, tinggal masalahnya, apakah akhir itu sesuatu yang mesti cepat-cepat kita kejar, atau malah kita hindari, atau cari jalan tengahnya dengan menjalani hidup ini saja tanpa dalam-dalam memikirkan ujungnya.

Sebelum lanjut (dan sebagai pengantar), saya ingin meminta maaf bila tulisan ini menjadi ajang curhat terselubung dan menjadi terlalu mellow bagi yang membacanya. Sudah sebulan saya tidak menambah menu baru di warung kopi ini. Di luar rutinitas kuliah yang seharusnya bukan alasan untuk tidak produktif, ada masalah pribadi yang membuat saya malas melakukan apa pun selain yang berhubungan dengan masalah tersebut, dan yang bukan kewajiban. Sampai suatu ketika, saya mulai berandai-andai dengan kematian. Saya sudah bilang bahwa mati adalah topik yang tidak terlalu ingin saya bahas. Tapi saya tidak bisa memungkiri kadang dalam kondisi tertentu, ada sesuatu yang terlintas di pikiran: Mungkin mati bisa menyelesaikan masalah ini. Ini tidak terjadi terlalu sering, tapi juga tidak satu dua kali.

Baru-baru ini pikiran serupa kembali lewat di benak saya. Biasanya, saya hanya mendiamkan pikiran seperti itu setelah bermain-main sebentar dengannya tersebut. Toh, agama yang saya anut melarang bunuh diri. Jadinya, ketika pikiran tentang mati itu muncul, ada lapisan yang tiba-tiba mencuat dari dalam diri saya: Bagaimana kalau agama saya itu benar? Saya kan mati untuk keluar dari masalah hidup, apa jadinya kalau setelah mati malah dapat masalah baru yang tidak bisa diselesaikan dengan sekedar mati lagi. Yang berbeda dari pikiran tentang mati yang terbaru ini adalah, tepat ketika pikiran itu sedang kumat ada sebuah pesan masuk di jejaring sosial saya. Seorang kakak kelas menjadi korban dalam kecelakaan bus yang mengangkut rombongan mahasiswa sebuah universitas di Indonesia. Setelah saya mengucapkan belasungkawa (saya termasuk yang duluan mendapat informasi dan mengucapkan belasungkawa), saya melihat puluhan pesan serupa ikut muncul. Setelah itu, ada teman-teman terdekat almarhumah yang memposting pesan-pesan yang intinya kakak kelas saya tadi adalah orang yang sangat istimewa. Saya meminta maaf yang sebesar-besarnya bila ini terdengar kurang manusiawi atau apa, tapi jujur, saat itu saya iri dengan kakak kelas tersebut.

Setiap pesan baru bermunculan, baik yang berupa testimoni maupun sekedar belasungkawa, betapa saya merasa bahwa mati menjadikan seseorang benar-benar istimewa. Saya kembali berandai-andai: Sepertinya mati benar-benar dapat menyelesaikan masalah. Setelah itu, untuk menghadapi "argumen batin" yang biasa muncul, sesuatu yang jarang terlintas (tapi pernah, sesekali) muncul dengan kuat. Bunuh diri itu dilarang, tapi berdoa dan berharap mendapat jalan keluar dari masalah tidak dilarang, bukan? Mungkin jalan keluar itu adalah mati. Mungkin. Ketika itu terlintas lagi di pikiran: Saya ingin. Mati. Mungkin.

Akan tetapi, permainan batin itu ternyata tidak berlangsung lama. Setelah ada kakak kelas lain (sahabat almarhumah) memasang link ke warisan terbesar mendiang kakak kelas saya tadi, sebuah blog, saya kembali terhenyak. Almarhumah bisa dibilang sudah sangat siap menghadapi kematian. Taat beragama, punya prinsip yang jelas, punya kontribusi yang sudah terlihat. Sedangkan saya? Saya berpikir ulang. Kakak kelas saya tadi meskipun siap, tidak pernah terlihat mengharapkan kematian. Mungkin karena kesiapannya itu ia tidak lagi merasa membutuhkan "jalan keluar" yang benar-benar one way dalam menyelesaikan masalah-masalah hidup. Saya jadi ingat sebagian pesan yang ada di postingan obituari yang bersangkutan. Mungkin Sang Pencipta lebih menyayangi kakak kelas saya tadi, sehingga ia dipanggil dalam usia muda, dengan warisan yang sudah cukup untuk membuatnya diingat sebagai orang baik. Saya juga jadi teringat peristiwa beberapa tahun lalu, ketika teman seangkatan saya di SMA berpulang secara mendadak beberapa saat setelah ia menanyakan sesuatu pada saya dalam obrolan yang sangat biasa. Ia juga orang baik dengan cukup kebaikan untuk dikenang. Nah, lho. Bagaimana dengan saya?

Saya jadi pusing sendiri. Mereka itu orang-orang baik, jadi maklum saja respon yang diberikan setelah berpulangnya mereka sangat positif. Warisan yang mereka tingalkan juga membekas. Entah itu tulisan, prinsip, semangat hidup, cita-cita, maupun kesan baik. Sedangkan saya, punya reputasi sebagai orang berlidah (dan bertangan, ketika saya menulis dan mengetik) tajam. Saya belum pernah berpacaran, tapi sudah beberapa kali membuat lawan jenis sakit hati. Saya pernah beberapa kali membuat kesal teman-teman saya. Saya juga pernah mengacaukan acara adik-adik kelas saya. Dan satu lagi, dibanding mereka saya relatif sangat sekuler. Nah, lho! Bagaimana kalau saya mati sekarang? Kalau bukan karena bunuh diri pun, saya jadi takut saya saya akan pergi straight to hell. Amit-amit.

Mau tidak mau saya memutuskan untuk berusaha untuk tetap hidup. Saya akan berusaha menyelesaikan masalah saya hidup-hidup. Kalau pun gagal (semoga tidak, amiin), bila saya hidup saya punya kesempatan megoreksi diri untuk meneruskan kehidupan. Bila saya mati? Siapa yang tahu apa yang terjadi. Yang jelas saya tidak bisa mengoreksi kesalahan saya bila saya mati. Jadi kesimpulannya, ketika terlintas lagi dalam pikiran: Mati. Saya akan langsung menjawab dengan sinis (dan sedikit sarkastis): Yakin?

*In memoriam, kakak kelas dan seorang teman.