Pages

Thursday, December 20, 2012

Kuliah ya...


Setelah dua kali berturut-turut menulis curhatan pribadi, saya ingin mencoba kembali ke jalur awal. Semoga emosi yang agak negatif di tulisan sebelum ini tidak terbawa ke sini. Semoga ini menjadi tulisan yang bisa dinikmati tanpa harus membuat pembacanya menjadi korban curhat sembarangan si penulis.

Tiga minggu ke belakang, saya mendapat sedikit pengalaman yang menyeret saya untuk kembali berpikir kenapa saya memilih kuliah di kampus tempat saya belajar sekarang. Saya kembali bertanya apa sebenarnya yang saya cari di sini. Pengalaman itu terjadi di kelas workshop penulisan karya ilmiah untuk mahasiswa tahun pertama. Seorang mahasiswa asal Afrika yang terkesan agak malas mengikuti kelas wajib tersebut akhirnya menyatakan secara jujur pada asisten dosen di kelas kami, “saya ke sini untuk belajar bisnis, dan menurut saya kelas ini (penulisan karya ilmiah) hanya membuang waktu saya.” Saya terhenyak mendengar pengakuan orang yang duduk di dekat saya itu. Di satu sisi saya agak sebal dengan kelakuan orang itu, tapi di sisi lain saya mengagumi kejujuran dan keberaniannya mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Saya juga salut karena dia sudah mantap dengan tujuan belajarnya di negeri asing.

Jujur, saya tidak sependapat dengan teman (atau rekan, atau apa pun itu –kami belum pernah berkenalan meski belajar di kelas workshop yang sama) tersebut. Setidaknya, percaya atau tidak saya menikmati penulisan makalah, esai, dan tulisan-tulisan semacamnya (termasuk obrolan agak satir yang biasa ada di sini).  Dan buat saya, kelas workshop tersebut adalah ajang refreshing diantara kesibukan belajar intensif Bahasa Jepang empat hari seminggu empat setengah jam sehari. Tapi itulah masalahnya. Memang (setahu saya) tidak ada salahnya menikmati kelas (atau kegiatan apa pun itu) karena sekedar suka. Tapi saya juga ingat kalau belajar itu (seharusnya) ada tujuan akhirnya. Si teman Afrika tadi misalnya, dia sudah mantap menyatakan kuliah di kampus kami untuk belajar bisnis, dan memang kalau tujuannya bekerja di sektor itu, kampus kami bisa dibilang sangat menjamin masa depan dengan tingkat penyerapan lulusan di bursa kerja termasuk tiga besar tertinggi se-Jepang. Tapi seingat saya, tujuan saya bukan itu. Saya tidak ingin selesai kuliah langsung kerja di perusahaan apa pun dari negara mana pun. Seingat saya, saya ingin jadi peneliti maslah sosial, atau pengamat politik, atau pekerjaan lain yang terkesan “ilmiah” dan berhubungan dengan dunia pengetahuan sosial. Sebenarnya ada juga lulusan dari kampus tempat saya kuliah ini yang melanjutkan ke pascasarjana, bahkan ke kampus elit di negara seperti AS. Tapi itu hanya sekitar lima persen dari lulusan tiap tahun. Sepertinya agak berbeda dengan kampus di negeri sendiri tempat saya secara sengaja atau tidak sengaja diterima yang (setahu saya) dihormati sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia dengan banyak lulusan yang melanjutkan pendidikan, kampus saya di Jepang adalah kampus yang berorientasi “dunia nyata”.

Buat sebagian kalangan, kampus saya termasuk cukup disegani karena keberhasilannya menembus bursa kerja di Jepang. Tapi buat sebagian yang lain, kampus ini bukan sebuah dunia akademik, melainkan semata-mata tempat rehat setelah lulus SMA untuk memudahkan masuk kerja setelah lulus. Hal ini saya ketahui dari teman di kelas lain. Kali ini di kelas workshop komunikasi beda bahasa, dimana mahasiswa lokal dan internasional dicampur dan ditugaskan membuat semacam proyek bersama. Pada presentasi proyek, ada grup lain yang menyatakan hal di atas. Naluri sinis saya langsung muncul. Kelompok itu menggunakan kampus kami sebagai semacam represntatsi dari kamus “level menengah”, dibanding kampus-kampus tua yang benar-benar berorientasi akademis kampus kami (kata mereka) termasuk kampus dengan mahasiswa yang mengalami dekadensi pemikiran serta penurunan kualitas. Menurut mereka, banyak mahasiswa lokal (Jepang) di kampus saya yang tida menganggap kampus sebagai dunia akademis. Seratus enam puluh derajat dari mereka, ada saya yang menganggap kampus adalah dunia yang (menurut saya seharusnya) benar-benar akademis. Di kampus saya ada lembaga riset, tapi sebagaimana jumlah lulusan yang melanjutkan studi, popularitas lembaga riset tersebut di kalangan lokal tampak rendah. Bukan sesuatu yang saya apresiasi dari sebuah kampus.

Mungkin saya beruntung dapat dosen yang cukup akademis di kelas yang saya ambil. Dan sementara ini, saya juga merasa masih bisa menemukan hal-hal yang cukup “akademis” untuk dilakukan di sini. Tapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa saya telah masuk ke dunia yang sama sekali berbeda dengan yang saya impikan sebelum lulus SMA, yang sepertinya lebih dekat dengan kampus yang syaa tinggalkan di Indonesia dibanding di sini. Bagaimanapun, ada bagian dari diri saya yang terus bertanya: Kenapa saya kuliah? Di sini? Dan sepertinya saya butuh waktu agak lama untuk menjawabnya. Tidak sekarang.