Pages

Tuesday, March 5, 2013

Bebas sih, tapi...

Tadinya saya berniat menulis tentang seorang wakil gubernur yang belum ini mengeluarkan pernyataan kontroversial tentang moral dan akhlak pejabat secara umum termasuk beliau sendiri. Tapi, ketika saya sedang asik mencari bahan di laman-laman berita di internet, ada yang membuat saya tersenyum sendiri. Saat saya sampai di situs web sebuah media cetak dan elektronik berbahasa Inggris yang terbit di Jakarta, saya dibuat berpikir tentang kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat.

Dalam wacana kebebasan berpendapat, mungkin komentar-komentar bernada negatif di media massa bisa dianggap wajar dan bisa dibela oleh si pemberi komentar atas nama kebebasan berpendapat itu sendiri. Yang agak aneh adalah, ketika mulai terjadi saling hujat --atau terkadang reaksi hujatan satu arah-- terhadap pendapat orang lain. Lebih aneh lagi kalau ada yang mati-matian membela kebebasan berpendapat, tapi marah-marah ketika pendapatnya dibantah. Bukankah sebenarnya hampir semua yang ada di media massa adalah pendapat?

Bukannya saya ingin memperkeruh suasana, tapi saya merasa memang ada paradoks yang muncul bersama naiknya tren kebebasan berpendapat, berbicara, dan berekspresi. Kalau memang kita bebas berpendapat, apakah tidak boleh kita berpendapat bahwa suatu kebebasan itu harus tetap ada batasnya? Kalau ada yang protes, tinggal bilang ini pendapat saya dan saya seharusnya bebas mengemukakan pendapat. Ya, memang itu bisa memunculkan satu paradoks lagi --kalau bukan ironi, bagaimana mungkin saya mengangkat argumen tentang kebebasan berpendapat disaat saya sendiri tidak mendukung kebebasan tersebut. Bagaimanapun, inilah kenyataan yang muncul bersamaan dengan tren kebebasan berpendapat tersebut.

Saya tidak mengambil posisi ekstrem dalam wacana kebebasan berpendapat ini. Jujur saja saya merasa kebebasan berpendapat itu sangat wajar. Tapi di sisi lain, ada kecenderungan yang terlihat jelas bahwa kadang kita lupa bahwa dengan adanya kebebasan berpendapat dan berekspresi bukan berarti kita benar-benar bebas melakukan apa pun semau kita. Ada hak orang lain yang sebenarnya juga penting dan sering terganggu, tapi pada saat suasana mulai panas cenderung terlupakan. Hak-hak seperti ketenteraman dan perasaan aman kadang tertutupi oleh hal-hal yang lebih terlihat oleh publik. Hak-hak seperti keamanan fisik memang benar-benar penting, tapi hal seperti kenyamanan batin, kerukunan sosial, dan hal-hal lain yang kadang terdengar naif juga tidak kalah penting. Saya menyatakan posisi saya secara dengan menolak tindakan kekerasan dan anarkisme lain dalam konteks menanggapi pendapat orang lain. Tapi saya juga tidak bisa mengatakan mereka yang pada akhirnya diserang secara fisik tidak bersalah. Kadang jelas terlihat bahwa reaksi di dunia nyata terjadi karena perang opini yang panas dalam bentuk tulisan atau media lain. Pihak yang pada akhirnya mengganggu ketenteraman umum dengan tindakan maupun slogan yang membuat tidak nyaman bisa dikatakan salah, tapi itu tidak serta merta membenarkan pihak yang diserang karena opini yang mereka perjuangkan mati-matian di media ternyata melukai perasaan pihak lain.

Mungkin posisi yang saya ambil terkesan main aman. Tapi begitulah yang saya rasakan. Berhubungan dengan bagian pembuka tulisan ini, saya ingin mengambil sedikit contoh dari apa yang saya temukan ketika mencari bahan tentang tema yang awalnya ingin saya bahas. Di laman-laman yang memuat berita politik, agama, dan hukum hampir selalu ada komentar-komentar yang tampak menuntut – kalau bukan memaksakan kehendak, dan menyatakan secara lantang bahwa yang benar adalah si pemberi komentar. Saya senyum-senyum sendiri ketika pada suatu judul berita membaca komentar tiga orang yang dengan paham dan posisi masing-masing, tetap punya kesamaan. Meski mereka terlihat saling menyanggah satu sama lain, mereka memiliki satu titik temu, menurut mereka subjek pada berita tersebut salah dan patut disalahkan. Yang terlihat oleh pembaca netral --setidaknya dalam kasus ini anggap posisi saya netral, kesalahan yang secara jelas dilakukan oleh subjek dalam berita-berita tersebut adalah tidak secara penuh sepaham dengan para pemberi komentar. Ya, mungkin seperti posisi saya ini. Bedanya, sering kali yang diberitakan adalah pembuat kebijakan dan pengambil keputusan yang memang punya kepentingan dengan hajat hidup orang banyak, sedangkan saya hanya pengamat awam yang kadang terlalu banyak berpikir.

Yang ingin saya tekankan, dari contoh itu dapat terlihat bahwa kebebasan di media kadang membuat kita lupa bahwa ada pihak lain dengan cara pandang lain, dan ada pihak yang sering harus membuat kebijakan untuk mengakomodasi pendapat-pendapat yang ada. Selain itu, ada juga pihak-pihak yang dalam kasus-kasus tertentu sebenarnya netral dan ingin tetap netral, tapi ikut merasa tidak nyaman dengan adanya perang opini di media. Buat saya pribadi kebebasan berpendapat adalah hak yang harus dipenuhi, tapi bukan sesuatu yang bisa dijadikan alasan untuk mencabut hak-hak orang lain. Kebebasan berpendapat tidak serta-merta berarti kita bebas mengemukakan semua opini dan melakukan segala cara agar pendapat kita diterima sebagai kebenaran oleh orang lain. Atau tidak?