Bulan Ramadhan, yang tahun ini bertepatan dengan bulan
Agustus sudah hampir berakhir. Tidak hanya di kalangan umat Islam, seantero
Indonesia tampak sudah mulai merasakan pergantian suasana kearah hari raya
lebaran yang super semarak. Meski begitu, tanda-tanda Ramadhan ala Indonesia
masih dapat dilihat dengan jelas, khususnya pada saat-saat menjelang buka
puasa. Jumlah pedagang makanan dan minuman tiba-tiba berlipat dan terkesan
tumpah ruah di pinggiran jalan, menyambut pelanggan dadakan yang menyempatkan diri
mmpir untuk kenikmatan tambahan saat berbuka.
Sebagaimana mayoritas muslim, saya mau tidak mau mengakui
adanya perubahan pola pengeluaran uang di bulan Ramadhan ini. Meski telah
diberi tahu dan bahkan telah merasakan bahwa makanan dan minuman sesederhana
apa pun pasti menjadi nikmat di kala berbuka puasa, saya sering tak dapat
menahan dorongan untuk mencari kenikmatan lebih. Ketika saya –yang juga
menganut tradisi ngabuburit— berjalan-jalan sore mengendarai sepeda motor
menyusuri jalan utama di daerah saya, hampir tidak mungkin saya tidak membawa
apa-apa saat pulang ke rumah. Kwetiauw siram untuk makan malam, pempek sebagai
camilan, es kelapa muda yang segar, atau setidaknya goreng-gorengan.
Saya –dan saya yakin mayoritas umat Islam di Indonesia
juga—mengetahui benar bahwa bulan Ramadhan (seharusnya) adalah bulan untuk
menempa diri dengan menahan hawa nafsu. Saya juga –sebagaimana umat Islam lain
di Indonesia—tahu bahwa umat Islam dijanjikan kenikmatan yang lebih dari
biasanya saat berbuka puasa, tanpa harus mengumbar nafsu dengan cara mencari
kenikmatan tambahan. Tapi jujur saja, saya –dan sebagian muslim Indonesia
sejauh pengamatan saya—tidak kuasa menahan keinginan untuk menikmati penganan
yang seolah-olah memang disediakan sebagai upah menahan lapar seharian. Makna
puasa sebagai latihan menahan nafsu? Lupakan dulu sejenak.
Kadang saya merenungi hal seperti ini. Untuk apa saya
berpuasa seharian, jika saat berbuka malah kumat sifat hedonisnya. Untuk apa
saya melakukan puasa yang katanya merupakan salah satu bentuk tenggang rasa
terhadap kaum tak berpunya, tapi di waktu-waktu tertentu di bulan Ramadhan
pengeluaran konsumsi saya jadi berlipat. Tapi, tentu saja saya merenungi
hal-hal seperti itu setelah saya (terlanjur) kenyang dengan segelas es buah, sebungkus
kwetiauw siram, lima buah gorengan, beberapa butir kurma, dan camilan-camilan
khas Ramadhan. Pada akhirnya, kesimpulan dari renungan saya adalah julukan
tambahan bagi Ramadhan. Setelah Bulan Mulia, ada yang bilang Bulan Suci, Bulan
Ampunan, dan Bulan-Bulan Istimewa lain. Bagi saya ada yang kurang, Ramadhan,
Bulan Hedon. Nikmat.