Pages

Thursday, March 1, 2012

Sejarah, Oh, Sejarah (bagian akhir)


Akhirnya saya sampai ke bagian terakhir tugas tulisan sejarah saya. Sebelum memulai bagian ini, saya ingin mengingatkan bahwa yang sedang saya tulis bukanlah buku teks sejarah, melainkan bahasan mengenai masalah-masalah kesejarahan yang meski didukung berbagai data dan fakta tetap saja berangkat dari opini saya sendiri. Toh, ini tidak jauh berbeda dari mereka yang “menulis sejarah”. Meski didasari oleh data (kadang fakta), pada akhirnya sejarah dibumbui (saya tidak yakin apakah “didukung” atau “diperkuat”  merupakan kata yang tepat di sini) dengan opini sang penulis. Sejarah ditulis oleh pemenang.

Saat ini secara umum (dan konvesional) Indonesia memiliki tiga periode politik pascakemerdekaan. Dimulai dengan Orde Lama (nama yang belum ada saat itu) dengan Soekarno sebagai pusat, Orde Baru pimpinan Soeharto, dan masa reformasi setelah jatuhnya Soeharto dari kepresidenan. Pada masa jayanya, pimpinan tiap periode dinilai ideal oleh rakyat. Ambil contoh Soekarno yang bertahun-tahun berkuasa meski terjadi banyak masalah dalam dan luar negeri. Saat itu, yang salah bukan Soekarno, melainkan perdana menteri yang memimpin kabinetnya masing-masing. Saat Soekarno dikabarkan sakit keras, barulah terjadi peristiwa yang cukup kuat untuk mengakomodasi naiknya pemimpin baru. Soeharto naik dan mendirikan Orde Baru. 

Dengan naiknya pemimpin baru, sebagian kebijakan Soekarno tiba-tiba berubah dari ideal menjadi “bahaya laten” yang bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara. Figur Soeharto beserta kebijakan-kebijakannya dinilai ideal oleh masyarakat, sedangkan Soekarno dan Orde Lamanyanya segera beralih menjadi masa lalu yang seharusnya dilupakan. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa tanpa ada masalah yang berarti. Lagi-lagi, baru setelah Soeharto cukup renta, muncul peristiwa yang cukup kuat untuk melengserkan beliau dari istana. Dengan cepat pula, Orde Baru berubah dari arah perkembangan negara yang ideal menjadi sejarah kelam Indonesia. Sejarah versi reformasi mengubah “keamanan, ketertiban, dan ketentraman” di masa Orde Baru menjadi “aparat intel dan oknum militer yang melanggar HAM hanya dengan menjalankan tugas mereka”. Selain itu, “keberhasilan program pembangunan lima tahun” segera berubah menjadi “pembangunan yang tidak disertai dengan pengawasan dan pemerataan sehingga menimbulkan penyelewengan kekuasaan serta ketimpangan sosial ekonomi.” Dengan beralihnya kekuasaan, beralih pula hak penulisan sejarah.

Periode reformasi dinilai (saat ini, secara konvensional, termasuk oleh “kekuatan” di luar negeri) sebagai langkah yang tepat dalam perkembangan negara Indonesia. Demokrasi menjadi benar-benar demokrasi (setidaknya, demokrasi versi para “pejuang demokrasi” di Barat sana). Bukan lagi demokrasi terpimpin di masa Orde Lama, mapun demokrasi “palsu” di masa Orde Baru. Buku-buku teks sejarah sekarang pun mulai membicarakan sisi postif dan negatif periode-periode politik sebelumnya (meskipun akhirnya malah membuat buku teks akademis terkesan mirip cerita fiksi yang dramatis. 

Saat ini, dengan pergantian pemimpin yang relatif rutin cenderung tidak ada pihak dominan yang bisa menentukan arah penulisan sejarah Indonesia. Namun, sejarah memiliki peran lain di luar buku teks. Politikus yang bertarung memperebutkan tampuk kepemimpinan kerap menggunakan sejarah untuk menyerang lawan politiknya sekaligus membenarkan tindakannya. Begitulah sejarah, sebuah ilmu (yang saya sendiri lebih suka menyebutnya ilmu semu). Sejarah berangkat dari data, tapi harus diingat bahwa hasil akhirnya adalah milik sang penulis.