Pages

Thursday, August 25, 2011

Bulan Hedon


            Bulan Ramadhan, yang tahun ini bertepatan dengan bulan Agustus sudah hampir berakhir. Tidak hanya di kalangan umat Islam, seantero Indonesia tampak sudah mulai merasakan pergantian suasana kearah hari raya lebaran yang super semarak. Meski begitu, tanda-tanda Ramadhan ala Indonesia masih dapat dilihat dengan jelas, khususnya pada saat-saat menjelang buka puasa. Jumlah pedagang makanan dan minuman tiba-tiba berlipat dan terkesan tumpah ruah di pinggiran jalan, menyambut pelanggan dadakan yang menyempatkan diri mmpir untuk kenikmatan tambahan saat berbuka.
            Sebagaimana mayoritas muslim, saya mau tidak mau mengakui adanya perubahan pola pengeluaran uang di bulan Ramadhan ini. Meski telah diberi tahu dan bahkan telah merasakan bahwa makanan dan minuman sesederhana apa pun pasti menjadi nikmat di kala berbuka puasa, saya sering tak dapat menahan dorongan untuk mencari kenikmatan lebih. Ketika saya –yang juga menganut tradisi ngabuburit— berjalan-jalan sore mengendarai sepeda motor menyusuri jalan utama di daerah saya, hampir tidak mungkin saya tidak membawa apa-apa saat pulang ke rumah. Kwetiauw siram untuk makan malam, pempek sebagai camilan, es kelapa muda yang segar, atau setidaknya goreng-gorengan.
            Saya –dan saya yakin mayoritas umat Islam di Indonesia juga—mengetahui benar bahwa bulan Ramadhan (seharusnya) adalah bulan untuk menempa diri dengan menahan hawa nafsu. Saya juga –sebagaimana umat Islam lain di Indonesia—tahu bahwa umat Islam dijanjikan kenikmatan yang lebih dari biasanya saat berbuka puasa, tanpa harus mengumbar nafsu dengan cara mencari kenikmatan tambahan. Tapi jujur saja, saya –dan sebagian muslim Indonesia sejauh pengamatan saya—tidak kuasa menahan keinginan untuk menikmati penganan yang seolah-olah memang disediakan sebagai upah menahan lapar seharian. Makna puasa sebagai latihan menahan nafsu? Lupakan dulu sejenak.
            Kadang saya merenungi hal seperti ini. Untuk apa saya berpuasa seharian, jika saat berbuka malah kumat sifat hedonisnya. Untuk apa saya melakukan puasa yang katanya merupakan salah satu bentuk tenggang rasa terhadap kaum tak berpunya, tapi di waktu-waktu tertentu di bulan Ramadhan pengeluaran konsumsi saya jadi berlipat. Tapi, tentu saja saya merenungi hal-hal seperti itu setelah saya (terlanjur) kenyang dengan segelas es buah, sebungkus kwetiauw siram, lima buah gorengan, beberapa butir kurma, dan camilan-camilan khas Ramadhan. Pada akhirnya, kesimpulan dari renungan saya adalah julukan tambahan bagi Ramadhan. Setelah Bulan Mulia, ada yang bilang Bulan Suci, Bulan Ampunan, dan Bulan-Bulan Istimewa lain. Bagi saya ada yang kurang, Ramadhan, Bulan Hedon. Nikmat.