Akhirnya saya sampai ke bagian terakhir tugas tulisan sejarah saya.
Sebelum memulai bagian ini, saya ingin mengingatkan bahwa yang sedang saya
tulis bukanlah buku teks sejarah, melainkan bahasan mengenai masalah-masalah
kesejarahan yang meski didukung berbagai data dan fakta tetap saja berangkat
dari opini saya sendiri. Toh, ini tidak jauh berbeda dari mereka yang “menulis
sejarah”. Meski didasari oleh data (kadang fakta), pada akhirnya sejarah
dibumbui (saya tidak yakin apakah “didukung” atau “diperkuat” merupakan kata yang tepat di sini) dengan
opini sang penulis. Sejarah ditulis oleh pemenang.
Saat ini secara umum (dan konvesional) Indonesia memiliki tiga
periode politik pascakemerdekaan. Dimulai dengan Orde Lama (nama yang belum ada
saat itu) dengan Soekarno sebagai pusat, Orde Baru pimpinan Soeharto, dan masa
reformasi setelah jatuhnya Soeharto dari kepresidenan. Pada masa jayanya,
pimpinan tiap periode dinilai ideal oleh rakyat. Ambil contoh Soekarno yang
bertahun-tahun berkuasa meski terjadi banyak masalah dalam dan luar negeri.
Saat itu, yang salah bukan Soekarno, melainkan perdana menteri yang memimpin
kabinetnya masing-masing. Saat Soekarno dikabarkan sakit keras, barulah terjadi
peristiwa yang cukup kuat untuk mengakomodasi naiknya pemimpin baru. Soeharto
naik dan mendirikan Orde Baru.
Dengan naiknya pemimpin baru, sebagian kebijakan Soekarno tiba-tiba
berubah dari ideal menjadi “bahaya laten” yang bisa mengancam keutuhan bangsa
dan negara. Figur Soeharto beserta kebijakan-kebijakannya dinilai ideal oleh
masyarakat, sedangkan Soekarno dan Orde Lamanyanya segera beralih menjadi masa
lalu yang seharusnya dilupakan. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa tanpa ada
masalah yang berarti. Lagi-lagi, baru setelah Soeharto cukup renta, muncul
peristiwa yang cukup kuat untuk melengserkan beliau dari istana. Dengan cepat
pula, Orde Baru berubah dari arah perkembangan negara yang ideal menjadi
sejarah kelam Indonesia. Sejarah versi reformasi mengubah “keamanan,
ketertiban, dan ketentraman” di masa Orde Baru menjadi “aparat intel dan oknum
militer yang melanggar HAM hanya dengan menjalankan tugas mereka”. Selain itu,
“keberhasilan program pembangunan lima tahun” segera berubah menjadi
“pembangunan yang tidak disertai dengan pengawasan dan pemerataan sehingga
menimbulkan penyelewengan kekuasaan serta ketimpangan sosial ekonomi.” Dengan
beralihnya kekuasaan, beralih pula hak penulisan sejarah.
Periode reformasi dinilai (saat ini, secara konvensional, termasuk
oleh “kekuatan” di luar negeri) sebagai langkah yang tepat dalam perkembangan
negara Indonesia. Demokrasi menjadi benar-benar demokrasi (setidaknya,
demokrasi versi para “pejuang demokrasi” di Barat sana). Bukan lagi demokrasi
terpimpin di masa Orde Lama, mapun demokrasi “palsu” di masa Orde Baru.
Buku-buku teks sejarah sekarang pun mulai membicarakan sisi postif dan negatif
periode-periode politik sebelumnya (meskipun akhirnya malah membuat buku teks
akademis terkesan mirip cerita fiksi yang dramatis.
Saat ini, dengan pergantian pemimpin yang relatif rutin cenderung
tidak ada pihak dominan yang bisa menentukan arah penulisan sejarah Indonesia.
Namun, sejarah memiliki peran lain di luar buku teks. Politikus yang bertarung
memperebutkan tampuk kepemimpinan kerap menggunakan sejarah untuk menyerang
lawan politiknya sekaligus membenarkan tindakannya. Begitulah sejarah, sebuah
ilmu (yang saya sendiri lebih suka menyebutnya ilmu semu). Sejarah berangkat
dari data, tapi harus diingat bahwa hasil akhirnya adalah milik sang penulis.