Bulan Ramadhan, bulan puasa. Ada yang bilang kita harus jaga hati, jaga
pikiran, jaga ucapan, jaga mata, dan jaga-jaga yang lain. Jadi, pada tulisan
ini saya tidak akan protes pada siapa pun, tentang apa pun. Saya tidak akan mengkritik
orang lain di tulisan ini. Biarlah, mumpung Ramadhan saya bisa mencoba
bercermin, melihat baik-busuknya diri saya sendiri.
Tahun lalu, juga di bulan Ramadhan, saya menulis tentang betapa saya kurang
bisa menghayati Ramadhan sebagai bulan yang dimaksudkan untuk melatih manusia
menahan nafsu. Bukannya hidup sederhana di bulan puasa, saya malah menjelma
menjadi seorang hedonis yang balas dendam ketika berbuka puasa. Syukurlah, saya
cukup berhemat di Ramadhan tahun ini, mungkin karena saya sudah beberapa bulan
meninggalkan kehidupan asrama dan sudah kembali beradaptasi dengan dunia normal,
tidak seperti Ramadhan tahun lalu dimana saya menghabiskan setengah durasi
bulan puasa dengan makan seadanya lalu ketika pulang menjelang lebaran saya
mengila. Ya, setidaknya saya tidak perlu menulis tentang hal yang sama dua
kali.
Ketika membicarakan Ramadhan, seorang muslim tentu mengaitkannya dengan
menahan nafsu, menambah ibadah, dan pada akhirnya mendekatkan diri pada Sang
Pencipta. Saya tak berniat membuat tulisan ini menjadi terlalu religius, walau
tak dapat dipungkiri pasti ada muatan-muatan religi yang mau tidak mau masuk ke
sini.
Jujur saja, bila definisi sukses di bulan Ramadhan adalah sukses menambah
porsi ibadah menjadi dominan dalam kehidupan sehari-hari sembari menghindari
berbuat dosa (atau apa pun yang diawali nafsu), saya tidak (atau setidaknya
belum, semoga) bisa dibilang sukses menjalani Ramadhan. Saya sudah menambah
porsi ibadah, dari malas-malasan mengerjakan selain yang wajib menjadi agak
sedikit malas. Pada akhirnya jadwal tadarus saya keteteran beberapa juz,
padahal saya sudah curi start lima juz sebelum bulan puasa. Untuk ibadah malam,
so-so lah, setidaknya tarawih saya belum bolong (walaupun ada yang sendirian di
rumah, atau ikut berjamaah di masjid tapi shalatnya setengah sadar). Ya, at
least ada peningkatan. At least.
Yang jadi masalah adalah, saya masih merasa sulit meninggalkan
kebiasaan-kebiasaan sekuler saya. Membajak video game, menguduh lagu
bajakan, membaca komik di internet (lagi-lagi bajakan) yang sedikit banyak
pasti mengandung fan service, dan perbuatan-perbuatan sekuler lain yang
seharusnya di luar Ramadhan pun ditinggalkan malah terbawa ke Ramadhan.
Parahnya, jadwal yang senggang di bulan puasa malah mejadi sarana untuk melakukan
hal-hal tersebut. Saya ingin bisa meninggalkan yang semacam itu. Sungguh. Tapi
ya, pada akhirnya ketika ego saya kumat saya akan beralasan dengan mengutip
lirik salah satu lagu Efek Rumah Kaca yang berjudul Debu-Debu Berterbangan:
Demi masa, sungguh kita tersesat
Membiaskan yang haram
Karena kita manusia
...
Karena kita manusia, ya, karena saya manusia. Manusia pasti punya nafsu,
jadi meski setan-setan konon dibelenggu selama Ramadhan, ada saja alasan untuk
berbuat yang tak patut. Oh iya, tentu saja lagu tadi adalah lagu bajakan yang
saya unduh dari internet, sebelum Ramadhan kok.