Apa persamaan Amir Sjarifuddin dan S.M.
Kartosoewirjo? Keduanya adalah tokoh pergerakkan. Keduanya juga orang dekat
Soekarno. Keduanya berakhir sebagai “pemberontak”. Keduanya merupakan “korban”
perjanjian Renville.
Seperti yang saya diskusikan pada tulisan
sebelumnya, sejarah ditulis oleh pemenang. Sejarah kerap tidak hanya berisi
kebenaran, tapi juga pembenaran. Pelaku sejarah bisa berganti peran sesuai
dengan pemegang keuasaan yang berhak menulis sejarah. Seorang pahlawan di suatu
bab di buku teks sejarah dapat menjelma jadi penjahat di bab berikutnya,
tergantung penguasa yang memutuskan mengambil sudut pandang mana dalam
menceritakan suatu peristiwa pada masanya.
Pergerakan Indonesia serta perjuangan mempertahankan
kemerdekaan merupakan bagian yang menarik dalam sejarah Indonesia. Sebagai
sebuah negara baru yang merupakan gabungan pemerintahan-pemerintahan kecil yang
dihubungkan oleh nasib dengan penjajahan Belanda di Nusantara, Indonesia
memiliki tokoh-tokoh dengan latar belakang serta pemikiran yang majemuk.
Membicarakan ke-Indonesiaan bukan berarti hanya membahas nasionalisme dan
Pancasila. Paham-paham lain seperti Islam, komunisme, sosialisme, dan
paham-paham lain punya andil dalam pergerakan Indonesia. Meski begitu, pada akhirnya
ada paham yang harus “unggul” dari paham yang lain. Hasilnya, ada tokoh-tokoh
penganut paham yang tidak sesuai dengan pemerintah yang harus menjadi korban
sejarah.
Setelah proklamasi tahun 1945, perjuangan Indonesia
masih jauh dari tuntas. Setelah Jepang yang kalah dalam PD II hengkang dari
Indonesia, Belanda sebagai salah satu pemenang perang dunia berhasrat untuk
mendaptkan kembali jajahannya di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Perlawanan
dilakukan oleh kaum republiken Indonesia yang masih majemuk baik secara fisik
maupun diplomatik. Perjanjian yang sebenarnya sudah merugikan pihak Indonesia
masih dilanggar oleh pihak Belanda dengan agresi militer pertama Juli 1947. Hal
ini selain menyebabkan berlarut-larutnya upaya penyelesaian konflik
Indonesia-belanda, juga mengganggu pemerintahan dalam negeri Indonesia. Kabinet
Sjahrir yang menyetujui Perjanjian Linggarjati harus mundur dan digantikan oleh
kabinet Amir Sjarifuddin.
Amir Sjarifuddin menjabat perdana menteri untuk
waktu yang relatif singkat. Ia naik menggantikan Sjahrir pada Juli 1947, dan “dipaksa”
turun setelah Perjanjian Renville pada Januari 1948. Ia dianggap bertanggung
jawa atas Perjanjian Renville yang dinilai merugikan Indonesia. Rival politik
Amir, Hatta, menggantikannya sebagai perdana menteri. Amir Sjarifuddin yang
terdepak dari jabatannya membentuk Front Demokrasi Rakyat, sebuah organisasi beraliran
kiri yang cenderung radikal. Front ini “mengganggu” pemerintahan Hatta yang
dinilai Amir tidak memuaskan. Musso, tokoh komunis yang dibuang ke Russia sebelum
kemerdekaan Indonesia kembali ke Indonesia dan bersama Amir Sjarifuddin
membentuk Soviet Republik Indonesia, yang menurut mereka menjadi solusi atas
masalah Indonesia. Dalam kurun satu tahun, amir Sjarifuddin beralih dari
pemimpin negara menjadi pemberontak yang memimpin makar.
Selain dari golongan kiri, Perjanjian Renville juga
berpengaruh pada salah satu gerakan keislaman. S.M. Kartosoewirjo yang sampai
Perundingan Linggarjati masih menduduki posisi tinggi di Masyumi yang merupakan
salah satu partai politik terbesar saat itu, mendeklarasikan beridirinya Negara
Islam Indonesia. Kartosoewirjo menjadi salah satu pimpinan Masyumi yang
ditugaskan di Jawa Barat. Setelah Perundingan Linggarjati, Kartosoewirjo
termasuk salah satu tokoh yang menjadi angota komite eksekutif yang ikut serta
dalam sidang KNIP untuk membahas keabsahan hasil perundingan tersebut. Tahun
berikutnya, ketika Indonesia menandatangani Perjanjian Renville yang menyetujui
garis Van Mook sebagai batas wilayah Indonesia-Belanda dan harus mengeluarkan
kekuatan militernya dari Jawa Barat, Kartosoewirjo yang tidak puas dengan
keputusan itu memutuskan untuk melakukan makar. Mendirikan negara Islamnya
sendiri.
Amir Sjarifuddin cukup “populer” di buku teks
sejarah. Ia adalah salah satu politikus yang punya andil dalam pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Amir merupakan salah satu tokoh kiri yang menentang
kolaborasi dengan Jepang. Diluar kontroversi soal keyakinan pribadinya (ia
pindah dari Islam ke Kristen), ia cukup dihormati di kalangan politikus yang
terlibat dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia dan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan. Sedangkan, Kartosoewirjo adalah salah satu organisator Masyumi
(untuk alasan yang tidak diketahui, buku teks sejarah sangat jarang menuliskan
hal ini) yang pernah tinggal bersama Soekarno di rumah guru mereka, H.O.S.
Cokroaminoto. Penunjukan Kartosoewirjo sebagai anggota komite eksekutif
menunjukkan kedekatannya dengan pemerintahan pimpinan Soekarno. Perjanjian
Renville menjadi titik balik hidup (dan kelak cerita sejarah) kedua tokoh
tersebut. Atas nama tegaknya kedaulatan Republik Indonesia, Amir Sjarifuddin
ditembak mati pada Desember 1948 dan Kartosoewirjo menyusul pada 1962. Di akhir
hayatnya, kedua tokoh pergerakan tersebut menyandang status pemberontak.