Sebenarnya sejarah bukanlah hal yang ingin
saya diskusikan panjang lebar di blog ini. Jujur saja, saya lebih senang
menulis dan membahas fenomena-fenomena di masyarakat yang kini-kini saja, yang
masih hangat. Tapi, begitu saya mendapat tugas membuat tiga tulisan mengenai
sejarah, saya memustuskan untuk menulisnya di sini. Toh, warung kopi ini sudah
lama tak beraktivitas karena beberapa bulan terakhir saya selalu punya alasan
untuk tidak menulis. Semau apa pun saya.
Meski
pada kelas satu SMA saya (dan siswa kelas satu SMA lain se-Indonesia saat itu)
didoktrin bahwa sejarah yang ada di buku sejarah itu adalah sebuah ilmu (science),
saya masih menyangsikan “kebenaran-kebenaran” yang ada di buku-buku teks
sejarah. Buat saya, sejarah lebih tepat disebut sebagai sebuah ilmu semu (pseudo-science).
Walaupun di buku-buku teks tercantum ciri-ciri ilmu yang sesuai dengan ilmu
sejarah versi buku teks tersebut termasuk metode penelitian dan sebagainya,
pada akhirnya interpretasi atas data yang ditemukan tergantung pada si
sejarawan. Itu pun kalau data hasil penelitiannya benar-benar asli (saya suka
membedakan data yang 'asli' dengan 'valid', karena yang 'asli' hanyalah yang
benar-benar benar, sedangkan yang 'valid' statusnya bergantung pada siapa yang
menentukan validitasnya), bukan hasil rekayasa atau “pengaslian” oleh
pihak-pihak tertentu. Seorang filsuf (saya lupa namanya dan saya sedang terlalu
malas untuk mencari buku teks sejarah kelas satu SMA) mengakui bahwa, “sejarah
ditulis oleh pemenang.” Dengan kata lain, apa yang dainggap benar oleh
“sejarah” hanyalah apa yang dianggap benar oleh pihak pemenang konflik yang
diceritakan oleh sejarah itu tadi.
Di
Indonesia, salah satu bahasan buku teks sejarah yang dapat mencerminkan
“pemaksaan sejarah” adalah mengenai peristiwa yang menjadi titik balik rezim
Orde Lama sekaligus awal naiknya Orde Baru. Buku-buku teks sejarah menceritakan
G30S/PKI sebagai 'pengkhianatan' atau 'pemberontakan' yang dilakukan oleh salah
satu keuatan politik besar di Indonesia pada masa itu. Partai Komunis Indonesia
disebut-sebut sebagai dalang dari “peristiwa mengenaskan” yang menewaskan
sepuluh (atau sembilan?) orang perwira TNI. Meski buku teks sejarah saat ini kerap memuat
beberapa teori tentang asal-usul peristiwa tersebut, tetap saja di buku-buku
itu PKI-lah yang pada akhirnya (atau pada awal sub-babnya) bertanggung jawab
atas peristiwa G30S. Saya bukan simpatisan PKI maupun penganut komunisme, tapi
mau tidak mau saya merasa ada yang janggal ketika buku teks sejarah menuliskan,
“Penanganan dan stabilisasi kondisi pasca G30S/PKI dilakukan sebisa mungkin
dengan tidak menimbulkan banyak korban.” Padahal, banyak sumber data (yang
semuanya 'valid' tapi entah yang mana yang 'asli') menyebutkan bahwa korban
jiwa dari pemberangusan paham komunisme di Indonesia mencapai ribuan jiwa, belum mencakup
orang-orang yang dipenjara atau diasingkan karena menjadi simpatisan atau
memiliki indikasi pemikiran mengarah ke komunisme. Yang jelas, setelah
G30S/PKI, TNI Angkatan Darat berhasil memangkas habis kekuatan salah satu lawan
politik mereka. Konflik antarkekuatan politik di akhir rezim Orde Lama
dimenangkan oleh TNI AD, yang kemudian salah satu jenderalnya menjadi presiden
RI dan menulis sejarah, menjadikan komunisme dan PKI akar kerusakan di Indonesia
masa itu.
Masih
ada beberapa kejadian menarik di buku teks sejarah yang saling berkontradiksi
satu sama lain. Seorang pahlawan di suatu bab akan menjadi pengkhianat di bab
lain. Pada akhirnya, buku teks sejarah penuh intrik yang tingkatnya kadang melebihi
karya fiksi (dengan asumsi buku teks sejarah adalah karya yang setidaknya semi
ilmiah). Namun, saya tidak akan memasukkan hal-hal tersebut di tulisan ini.
Karena kalau begitu saya bisa kehabisan bahan untuk tugas saya yang masih dua
tulisan lagi.
No comments:
Post a Comment