Pages

Tuesday, February 14, 2012

Sejarah, Oh, Sejarah (bagian pertama)


Sebenarnya sejarah bukanlah hal yang ingin saya diskusikan panjang lebar di blog ini. Jujur saja, saya lebih senang menulis dan membahas fenomena-fenomena di masyarakat yang kini-kini saja, yang masih hangat. Tapi, begitu saya mendapat tugas membuat tiga tulisan mengenai sejarah, saya memustuskan untuk menulisnya di sini. Toh, warung kopi ini sudah lama tak beraktivitas karena beberapa bulan terakhir saya selalu punya alasan untuk tidak menulis. Semau apa pun saya.

Meski pada kelas satu SMA saya (dan siswa kelas satu SMA lain se-Indonesia saat itu) didoktrin bahwa sejarah yang ada di buku sejarah itu adalah sebuah ilmu (science), saya masih menyangsikan “kebenaran-kebenaran” yang ada di buku-buku teks sejarah. Buat saya, sejarah lebih tepat disebut sebagai sebuah ilmu semu (pseudo-science). Walaupun di buku-buku teks tercantum ciri-ciri ilmu yang sesuai dengan ilmu sejarah versi buku teks tersebut termasuk metode penelitian dan sebagainya, pada akhirnya interpretasi atas data yang ditemukan tergantung pada si sejarawan. Itu pun kalau data hasil penelitiannya benar-benar asli (saya suka membedakan data yang 'asli' dengan 'valid', karena yang 'asli' hanyalah yang benar-benar benar, sedangkan yang 'valid' statusnya bergantung pada siapa yang menentukan validitasnya), bukan hasil rekayasa atau “pengaslian” oleh pihak-pihak tertentu. Seorang filsuf (saya lupa namanya dan saya sedang terlalu malas untuk mencari buku teks sejarah kelas satu SMA) mengakui bahwa, “sejarah ditulis oleh pemenang.” Dengan kata lain, apa yang dainggap benar oleh “sejarah” hanyalah apa yang dianggap benar oleh pihak pemenang konflik yang diceritakan oleh sejarah itu tadi.

Di Indonesia, salah satu bahasan buku teks sejarah yang dapat mencerminkan “pemaksaan sejarah” adalah mengenai peristiwa yang menjadi titik balik rezim Orde Lama sekaligus awal naiknya Orde Baru. Buku-buku teks sejarah menceritakan G30S/PKI sebagai 'pengkhianatan' atau 'pemberontakan' yang dilakukan oleh salah satu keuatan politik besar di Indonesia pada masa itu. Partai Komunis Indonesia disebut-sebut sebagai dalang dari “peristiwa mengenaskan” yang menewaskan sepuluh (atau sembilan?) orang perwira TNI. Meski buku teks sejarah saat ini kerap memuat beberapa teori tentang asal-usul peristiwa tersebut, tetap saja di buku-buku itu PKI-lah yang pada akhirnya (atau pada awal sub-babnya) bertanggung jawab atas peristiwa G30S. Saya bukan simpatisan PKI maupun penganut komunisme, tapi mau tidak mau saya merasa ada yang janggal ketika buku teks sejarah menuliskan, “Penanganan dan stabilisasi kondisi pasca G30S/PKI dilakukan sebisa mungkin dengan tidak menimbulkan banyak korban.” Padahal, banyak sumber data (yang semuanya 'valid' tapi entah yang mana yang 'asli') menyebutkan bahwa korban jiwa dari pemberangusan paham komunisme di Indonesia  mencapai ribuan jiwa, belum mencakup orang-orang yang dipenjara atau diasingkan karena menjadi simpatisan atau memiliki indikasi pemikiran mengarah ke komunisme. Yang jelas, setelah G30S/PKI, TNI Angkatan Darat berhasil memangkas habis kekuatan salah satu lawan politik mereka. Konflik antarkekuatan politik di akhir rezim Orde Lama dimenangkan oleh TNI AD, yang kemudian salah satu jenderalnya menjadi presiden RI dan menulis sejarah, menjadikan komunisme dan PKI akar kerusakan di Indonesia masa itu.

Masih ada beberapa kejadian menarik di buku teks sejarah yang saling berkontradiksi satu sama lain. Seorang pahlawan di suatu bab akan menjadi pengkhianat di bab lain. Pada akhirnya, buku teks sejarah penuh intrik yang tingkatnya kadang melebihi karya fiksi (dengan asumsi buku teks sejarah adalah karya yang setidaknya semi ilmiah). Namun, saya tidak akan memasukkan hal-hal tersebut di tulisan ini. Karena kalau begitu saya bisa kehabisan bahan untuk tugas saya yang masih dua tulisan lagi.

No comments:

Post a Comment