Ini konsekuensi menulis sesempatnya, waktu tulisan diposting wacananya sudah dingin lagi. Ya, masih lebih baik dari tidak ditulis, lah. Anggap saja ini semacam jurnal bulanan. Beberapa waktu lalu, ada wacana di media massa nasional bahwa
salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa menilai toleransi keagamaan di
Indonesia terbilang buruk. Saat itu, pernyataan tersebut seakan didukung oleh
serangkaian kejadian yang dikait-kaitkan dengan konflik agama. Ada penyerangan
yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan kelompok mayoritas terhadap
salah satu sekte yang dianggap sesat (sepertinya tak perlu disebutkan
organisasi apa yang menyerang dan apa yang diserang), ada juga pertentangan
jemaat kelompok agama tertentu dengan warga di daerah tertentu karena kelompok
jemaat tersebut merasa hak mereka untuk beribadah dikekang (lagi-lagi saya rasa
tak perlu menyebutkan kelompok mana dengan warga daerah mana yang
bertentangan). Kejadian-kejadian tersebut diperparah oleh beberapa media yang
secara sistematis menggiring opini masyarakat sesuai kepentingan masing-masing.
Jadilah ketika wacana dari PBB tentang toleransi di Indonesia, sekilas sulit
untuk mengingkari tuduhan tersebut.
Meski beberapa surat kabar telah merilis data statistik
mengenai pertumbuhan rumah ibadah berbagai agama di Indonesia, toleransi
antarumat beragama saat perayaan-perayaan tertentu, dan data-data semacamnya, ada saja anggota masyarakat
baik pembaca yang mengirim opini ke surat kabar maupun editor surat kabar itu
sendiri yang memanas-manasi situasi. Bila hanya membanding-bandingkan opini
satu surat kabar dengan yang lain memang ada kesan bahwa kalaupun tidak sampai
intoleran, konflik atau bibit-bibit konflik keagamaan selalu ada di Indonesia.
Padahal, masih ada sisi lain masyarakat yang jarang terekspos
oleh media massa. Sisi-sisi di mana toleransi berlangsung tiap hari tanpa
gangguan berarti. Salah satu contoh yang paling jelas dan menarik adalah
pengamen bus kota di daerah Jakarta dan sekitarnya. Suatu ketika, saya dan
seorang teman naik bus dari arah Salemba ke Ciputat. Ada seorang wanita
setengah baya yang mengucap salam secara kristiani lalu melantunkan beberapa
lagu yang islami. Ketika itu saya mengamati di dalam bus ada beberapa penumpang
beragama Kristen atau Katolik diantara mayoritas penumpang yang beragama Islam.
Tak ada yang protes. Bukannya saya bersikap liberal atau apa, hanya saja kalau
yang dikatakan di koran-koran tentang intoleransi Indonesia benar, pasti sudah
ada perang saudara di bus tersebut. Pada kesempatan lain saya naik bus jurusan
dari arah Senen ke Cibinong. Seorang pengamen menyanyikan lagu Seperti yang Kau Ingini yang jelas-jelas
lagu rohani Kristen di bus yang mayoritas penumpangnya (sepertinya) muslim. Tak
ada yang protes. Bahkan tidak sedikit penumpang yang memberi uang pada pengamen
itu. Begitu pula ketika ada pengamen yang bershalawat di bus yang menuju Blok
M. Semua damai.
Opini di media yang dikendalikan oknum-oknum yang memiliki
kepentingan kadang tidak bersifat netral. Meski di halaman pertama memajang
data statistik tentang toleransi, di halaman opini media yang sama memasang
tulisan yang isinya seolah mewakili pihak-pihak yang berkonflik. Padahal, belum
tentu pihak-pihak tersebut merasa terwakili. Mungkin suatu waktu daripada
membaca seluruh koran pagi dan membandingkan opini-opini yang dimuat, ada
baiknya perwakilan PBB atau lembaga mana pun yang mengatakan Indonesia
intoleran diajak naik bus kota keliling Jabodetabek. Jika beruntung, mereka
akan menemukan dua kelompok pengamen yang sama-sama menyanyikan lagu rohani
tapi beda agama, di bus yang sama. Mungkin juga mereka akan melihat bagaimana
seorang penumpang berkalung dan bergelang salib beramah tamah dengan penumpang
lain yang merupakan muslimah berjilbab. Atau bisa juga seorang pelajar muslim
memberi tempat duduk pada biarawati setengah baya.