Setiap akan
bepergian sendiri naik kendaraan umum, saya hampir selalu menyediakan dua hal:
pemutar mp3 berisi lagu-lagu bajakan koleksi saya lengkap dengan earphone, dan
novel untuk dibaca. Ternyata saya tidak sendiri. Memang saya jarang menemukan
orang lain membaca novel di kendaraan umum, tapi saya nyaris selalu menemukan
penumpang lain dengan earphone terpasang di telinga. Seperti saya, mereka pun
hanya melepas earphone saat menjawab panggilan di ponsel atau ketika terpaksa
bertanya tentang kendaraan apa atau rute mana yang harus ditempuh berikutnya
untuk melanjutkan perjalanan.
Entah untuk
alasan apa, kami (saya dan orang-orang dengan kebiasaan yang sama meski kami
tak mengenal satu sama lain) memilih tenggelam di dunia sendiri. Dan kami, atau
setidaknya saya pribadi merasa nyaman di sana. Sebuah dunia di mana saya tidak
diganggu, Sebuah dunia di mana saya tidak mengganggu (atau tidak merasa telah
mengganggu) siapa pun. Untuk saya, kadang saya merasa keadaan itu ideal.
Jujur, saya
termasuk orang yang memiliki masalah dalam menjalin komunikasi informal dengan
orang baru. Seorang psikolog yang saya tanyai mengatakan mungkin hal itu
berhubungan dengan kebiasaan saya mengamati dengan cermat orang-orang di
sekitar, khususnya mereka yang baru saya temui tanpa menunjukkan kesan hangat
dan ramah (saya selalu mencoba ramah, tapi kecuali saya benar-benar tersenyum
dengan lebar dan tulus, orang yang baru mengenal saya selalu mengatakan bahwa
wajah saya menunjukkan kesan tak ramah). Mungkin itu ada benarnya. Saya kerap,
sadar atau setengah sadar, menatap orang lain dari kepala ke kaki, lalu
mengacuhkannya kembali. Dalam kondisi tertentu saya akan menyapa, tapi lebih
sering saya kembali asik sendiri.
Tanpa
earphone terpasang, saya biasa dibilang sinis, dingin, atau apalah karena
tatapan saya yang (kata orang) menusuk. Nah, dengan earphone terpasang, saya
bisa dengan tenang masuk ke dunia saya sendiri, dimana saya sendiri tidak ada.
Saya bisa mengamati orang-orang anonim (siapa pun yang kita temui dan tak
pernah berkenalan dengannya bisa kita anggap anonim, bukan?), dan saya tetap
anonim (karena saya bahkan tak menganggap diri saya ada ketika itu, hanya
tokoh-tokoh di novel, narasi lirik lagu, dunia visual berisi bus kota berisi
orang-orang anonim melaju di jalan raya berdebu dengan gedung bertingkat dan
pemukiman kumuh silih berganti di pinggir jalan, dan mungkin seonggok “manusia”
yang kadang mengganggu penumpang lain karena tubuh yang cukup besar –tubuh
saya).
Itulah
alasan saya membaca novel dan memasang earphone di ruang publik. Mungkin
orang-orang berearphone yang lain memiliki alasan masing-masing yang berbeda
dengan saya. Kami punya dunia sendiri. Bukan asosial, hanya mencoba mengakomodasi kebutuhan bersama.
Kebutuhan orang lain akan rasa nyaman yang kadang tak sengaja saya usik, dan
kebutuhan untuk tidak dicap sinis seharian oleh orang yang tidak atau baru saya
kenal.
No comments:
Post a Comment