Pages

Wednesday, June 13, 2012

Anonim

Setiap akan bepergian sendiri naik kendaraan umum, saya hampir selalu menyediakan dua hal: pemutar mp3 berisi lagu-lagu bajakan koleksi saya lengkap dengan earphone, dan novel untuk dibaca. Ternyata saya tidak sendiri. Memang saya jarang menemukan orang lain membaca novel di kendaraan umum, tapi saya nyaris selalu menemukan penumpang lain dengan earphone terpasang di telinga. Seperti saya, mereka pun hanya melepas earphone saat menjawab panggilan di ponsel atau ketika terpaksa bertanya tentang kendaraan apa atau rute mana yang harus ditempuh berikutnya untuk melanjutkan perjalanan.
Entah untuk alasan apa, kami (saya dan orang-orang dengan kebiasaan yang sama meski kami tak mengenal satu sama lain) memilih tenggelam di dunia sendiri. Dan kami, atau setidaknya saya pribadi merasa nyaman di sana. Sebuah dunia di mana saya tidak diganggu, Sebuah dunia di mana saya tidak mengganggu (atau tidak merasa telah mengganggu) siapa pun. Untuk saya, kadang saya merasa keadaan itu ideal.
Jujur, saya termasuk orang yang memiliki masalah dalam menjalin komunikasi informal dengan orang baru. Seorang psikolog yang saya tanyai mengatakan mungkin hal itu berhubungan dengan kebiasaan saya mengamati dengan cermat orang-orang di sekitar, khususnya mereka yang baru saya temui tanpa menunjukkan kesan hangat dan ramah (saya selalu mencoba ramah, tapi kecuali saya benar-benar tersenyum dengan lebar dan tulus, orang yang baru mengenal saya selalu mengatakan bahwa wajah saya menunjukkan kesan tak ramah). Mungkin itu ada benarnya. Saya kerap, sadar atau setengah sadar, menatap orang lain dari kepala ke kaki, lalu mengacuhkannya kembali. Dalam kondisi tertentu saya akan menyapa, tapi lebih sering saya kembali asik sendiri.
Tanpa earphone terpasang, saya biasa dibilang sinis, dingin, atau apalah karena tatapan saya yang (kata orang) menusuk. Nah, dengan earphone terpasang, saya bisa dengan tenang masuk ke dunia saya sendiri, dimana saya sendiri tidak ada. Saya bisa mengamati orang-orang anonim (siapa pun yang kita temui dan tak pernah berkenalan dengannya bisa kita anggap anonim, bukan?), dan saya tetap anonim (karena saya bahkan tak menganggap diri saya ada ketika itu, hanya tokoh-tokoh di novel, narasi lirik lagu, dunia visual berisi bus kota berisi orang-orang anonim melaju di jalan raya berdebu dengan gedung bertingkat dan pemukiman kumuh silih berganti di pinggir jalan, dan mungkin seonggok “manusia” yang kadang mengganggu penumpang lain karena tubuh yang cukup besar –tubuh saya).
Itulah alasan saya membaca novel dan memasang earphone di ruang publik. Mungkin orang-orang berearphone yang lain memiliki alasan masing-masing yang berbeda dengan saya. Kami punya dunia sendiri. Bukan asosial,  hanya mencoba mengakomodasi kebutuhan bersama. Kebutuhan orang lain akan rasa nyaman yang kadang tak sengaja saya usik, dan kebutuhan untuk tidak dicap sinis seharian oleh orang yang tidak atau baru saya kenal.

No comments:

Post a Comment