Lagi-lagi
lewat satu bulan tidak ada menu baru di sini. Entah kenapa selalu ada alas an
untuk tidak menulis satu bulan ke belakang, sampai tidak ada satu tulisan pun
yang terbit di Januari. My bad, yeah. Ini bukan tulisan yang benar-benar baru.
Idenya sudah ada sejak dua atau tiga tahun yang lalu, saat itu saya usulkan
sebagai tema majalah sekolah. Mungkin karena memang tidak pas (saya juga tidak
benar-benar yakin tema seperti ini jadi tema majalah, cuma saat itu ide ini
terdengar keren dalam pikiran saya). Ya, jadi setelah satu bulan tidak menulis,
saya memutuskan untuk membawa “sketsa” yang terkubur di suatu tempat di otak
saya ini ke permukaan, dan menjadikannya tulisan singkat, menu biasa di warung
kopi ini.
Buat
saya, dunia ini kurang lebih tergambarkan oleh lagu yang dibawakan Achmad Albar
di akhir 70-an (saya belum lahir saat itu, dan saya tidak yakin sampai sekarang
pernah mendengar lagi itu secara utuh), “Panggung Sandiwara”. Secara pribadi,
saya menyukai cerita, entah itu dalam bentuk drama, film, komik, novel, atau
apa pun. Mengamati bagaimana karakter-karakter yang ada memainkan peran mereka
adalah semacam hiburan. Begitulah, sampai saya mulai merasa hidup yang saya
jalani ini adalah juga sebuah cerita. Untuk saya, ini adalah drama yang kisahnya
dimulai ketika saya mulai bisa mengingat sesuatu, dan akan selesai nati ketika
saya harus mengundurkan diri dari dunia ini.
Meski
begitu, dari sudut pandang yang berbeda, drama hidup saya tidak sesederhana
itu. Bagi orang-orang di sekitar saya, kisah hidup saya sudah dimulai bahkan
sebelum saya belum bisa melakukan apa-apa, bahkan menangis. Buat saya,
cerita-cerita tentang masa itu hanyalah prolog yang diceritakan oleh orang tua
saya dan orang-orang yang seumuran dengan mereka. Tapi, bagi mereka, sebagian
dari hidup saya yang saya sendiri tidak merasakan itu sudah menjadi bagian dari
drama hidup mereka masing-masing. Kita
menjalani sendiri seluruh hidup kita, dan di saat yang sama sebagian dari hidup
kita ada adalah juga bagian dari kehidupan orang lain. Bagian
‘untuk-kita-sendiri’ di dunia ini bisa dibilang selesai ketika kita mati, tapi
bisa jadi ada bagian ‘untuk-orang-lain’ yang tetap hidup sebagai warisan dari
kita.
Kembali
ke masa sekarang, pernahkah kita membayangkan bahwa selain menjadi protagonis cerita
kita sendiri, kita juga memainkan bermacam-macam peran di cerita orang lain?
Kadang kita berperan sebagai sahabat yang baik, mungkin sebagai partner in
crime, atau mungkin sebagai penjahat yang dibenci dari lubuk hati oleh si
pemeran utama dalam kisah itu. Kadang kita menyadari apa peran kita, tapi lebih
sering tidak. Ambil contoh karya legendary Sir Arthur Conan Doyle, kasihan Dr.
Watson, jadi pemeran pembantu dalam ceritanya sendiri. Ya, memang kasihan si
Watson, tapi bukan itu intinya. Di luar fakta bahwa cerita itu fiktif, kita
tahu dari narasi yang ada tentang apa yang dipikirkan Watson tentang
(sepertinya) sahabatnya, Holmes. Namun, kita hampir tak punya bukti yang kuat
tentang hal sebaliknya: apa yang dipikirkan Holmes tentang Watson?
Kita
bisa menggunakan contoh diatas untuk melihat hidup kita. Mungkin kita memiliki
daftar “teman”, satu set tokoh antagonis mulai dari yang sekedar menyebalkan
sampai yang kita benci dari lubuk hati terdalam, dan banyak tritagonis dan
figuran yang member bumbu dalam hidup kita. Akan tetapi, kita juga adalah
bagian dari hidup orang lain. Sering kita tak tahu apa posisi kita dalam
cerita-cerita yang lain tersebut. Saya bisa jadi adalah
orang-aneh-yang-mungkin-datang-dari-planet-lain, atau mungkin bisa jadi senior
yang menyebalkan di klub ekstra kurikuler, dan mungkin juga atasan jahat yang
melakukan sesuatu yang keji pada pemeran utama di cerita itu sampai layak
dikutuk bersama-sama oleh seluruh pemirsa yang menyaksikan dan pembaca yang
membaca kisah tersebut. Semua terjadi dengan kondisi yang kurang lebih sama
dengan saya, para protagonis di cerita-cerita tadi tidak tahu apa yang terjadi
di bagian hidup saya dimana mereka tidak terlibat.
Memang
tidak salah jika mengatakan bahwa mustahil membuat semua orang senang. Tapi
mungkin hal ini layak dipikirkan. Cukup ingat bahwa kita adalah juga bagian
dari cerita-cerita lain, yang diceritakan dengan sudut pandang berbeda-beda,
oleh narator yang berbeda pula. Boleh-boleh saja memiliki seperangkat “baik”
dan “buruk” untuk diri sendiri (dan saya punya itu), tapi mungkin ada baiknya
kita tidak serta merta mengantagoniskan
semua orang karena baiknya mereka tidak sesuai dengan baik milik kita,
sebagaimana kita (atau setidaknya saya pribadi) tidak ingin menjadi antagonis
di ratusan cerita yang berbeda.