Pages

Tuesday, February 5, 2013

Hidup sebagai Drama


Lagi-lagi lewat satu bulan tidak ada menu baru di sini. Entah kenapa selalu ada alas an untuk tidak menulis satu bulan ke belakang, sampai tidak ada satu tulisan pun yang terbit di Januari. My bad, yeah. Ini bukan tulisan yang benar-benar baru. Idenya sudah ada sejak dua atau tiga tahun yang lalu, saat itu saya usulkan sebagai tema majalah sekolah. Mungkin karena memang tidak pas (saya juga tidak benar-benar yakin tema seperti ini jadi tema majalah, cuma saat itu ide ini terdengar keren dalam pikiran saya). Ya, jadi setelah satu bulan tidak menulis, saya memutuskan untuk membawa “sketsa” yang terkubur di suatu tempat di otak saya ini ke permukaan, dan menjadikannya tulisan singkat, menu biasa di warung kopi ini.

Buat saya, dunia ini kurang lebih tergambarkan oleh lagu yang dibawakan Achmad Albar di akhir 70-an (saya belum lahir saat itu, dan saya tidak yakin sampai sekarang pernah mendengar lagi itu secara utuh), “Panggung Sandiwara”. Secara pribadi, saya menyukai cerita, entah itu dalam bentuk drama, film, komik, novel, atau apa pun. Mengamati bagaimana karakter-karakter yang ada memainkan peran mereka adalah semacam hiburan. Begitulah, sampai saya mulai merasa hidup yang saya jalani ini adalah juga sebuah cerita. Untuk saya, ini adalah drama yang kisahnya dimulai ketika saya mulai bisa mengingat sesuatu, dan akan selesai nati ketika saya harus mengundurkan diri dari dunia ini.

Meski begitu, dari sudut pandang yang berbeda, drama hidup saya tidak sesederhana itu. Bagi orang-orang di sekitar saya, kisah hidup saya sudah dimulai bahkan sebelum saya belum bisa melakukan apa-apa, bahkan menangis. Buat saya, cerita-cerita tentang masa itu hanyalah prolog yang diceritakan oleh orang tua saya dan orang-orang yang seumuran dengan mereka. Tapi, bagi mereka, sebagian dari hidup saya yang saya sendiri tidak merasakan itu sudah menjadi bagian dari drama hidup mereka masing-masing.  Kita menjalani sendiri seluruh hidup kita, dan di saat yang sama sebagian dari hidup kita ada adalah juga bagian dari kehidupan orang lain. Bagian ‘untuk-kita-sendiri’ di dunia ini bisa dibilang selesai ketika kita mati, tapi bisa jadi ada bagian ‘untuk-orang-lain’ yang tetap hidup sebagai warisan dari kita.

Kembali ke masa sekarang, pernahkah kita membayangkan bahwa selain menjadi protagonis cerita kita sendiri, kita juga memainkan bermacam-macam peran di cerita orang lain? Kadang kita berperan sebagai sahabat yang baik, mungkin sebagai partner in crime, atau mungkin sebagai penjahat yang dibenci dari lubuk hati oleh si pemeran utama dalam kisah itu. Kadang kita menyadari apa peran kita, tapi lebih sering tidak. Ambil contoh karya legendary Sir Arthur Conan Doyle, kasihan Dr. Watson, jadi pemeran pembantu dalam ceritanya sendiri. Ya, memang kasihan si Watson, tapi bukan itu intinya. Di luar fakta bahwa cerita itu fiktif, kita tahu dari narasi yang ada tentang apa yang dipikirkan Watson tentang (sepertinya) sahabatnya, Holmes. Namun, kita hampir tak punya bukti yang kuat tentang hal sebaliknya: apa yang dipikirkan Holmes tentang Watson?

Kita bisa menggunakan contoh diatas untuk melihat hidup kita. Mungkin kita memiliki daftar “teman”, satu set tokoh antagonis mulai dari yang sekedar menyebalkan sampai yang kita benci dari lubuk hati terdalam, dan banyak tritagonis dan figuran yang member bumbu dalam hidup kita. Akan tetapi, kita juga adalah bagian dari hidup orang lain. Sering kita tak tahu apa posisi kita dalam cerita-cerita yang lain tersebut. Saya bisa jadi adalah orang-aneh-yang-mungkin-datang-dari-planet-lain, atau mungkin bisa jadi senior yang menyebalkan di klub ekstra kurikuler, dan mungkin juga atasan jahat yang melakukan sesuatu yang keji pada pemeran utama di cerita itu sampai layak dikutuk bersama-sama oleh seluruh pemirsa yang menyaksikan dan pembaca yang membaca kisah tersebut. Semua terjadi dengan kondisi yang kurang lebih sama dengan saya, para protagonis di cerita-cerita tadi tidak tahu apa yang terjadi di bagian hidup saya dimana mereka tidak terlibat.

Memang tidak salah jika mengatakan bahwa mustahil membuat semua orang senang. Tapi mungkin hal ini layak dipikirkan. Cukup ingat bahwa kita adalah juga bagian dari cerita-cerita lain, yang diceritakan dengan sudut pandang berbeda-beda, oleh narator yang berbeda pula. Boleh-boleh saja memiliki seperangkat “baik” dan “buruk” untuk diri sendiri (dan saya punya itu), tapi mungkin ada baiknya kita tidak serta merta  mengantagoniskan semua orang karena baiknya mereka tidak sesuai dengan baik milik kita, sebagaimana kita (atau setidaknya saya pribadi) tidak ingin menjadi antagonis di ratusan cerita yang berbeda.

1 comment:

  1. hm, apakah bukankah dalam drama harus berpura pura? mungkin lebih tepat hidup sebagai cerita atau novel?
    pemikirannya mantep bro ^^

    ReplyDelete