Setelah dua kali berturut-turut menulis curhatan pribadi,
saya ingin mencoba kembali ke jalur awal. Semoga emosi yang agak negatif di
tulisan sebelum ini tidak terbawa ke sini. Semoga ini menjadi tulisan yang bisa
dinikmati tanpa harus membuat pembacanya menjadi korban curhat sembarangan si
penulis.
Tiga minggu ke belakang, saya mendapat sedikit pengalaman
yang menyeret saya untuk kembali berpikir kenapa saya memilih kuliah di kampus
tempat saya belajar sekarang. Saya kembali bertanya apa sebenarnya yang saya
cari di sini. Pengalaman itu terjadi di kelas workshop penulisan karya ilmiah untuk
mahasiswa tahun pertama. Seorang mahasiswa asal Afrika yang terkesan agak malas
mengikuti kelas wajib tersebut akhirnya menyatakan secara jujur pada asisten
dosen di kelas kami, “saya ke sini untuk belajar bisnis, dan menurut saya kelas
ini (penulisan karya ilmiah) hanya membuang waktu saya.” Saya terhenyak
mendengar pengakuan orang yang duduk di dekat saya itu. Di satu sisi saya agak
sebal dengan kelakuan orang itu, tapi di sisi lain saya mengagumi kejujuran dan
keberaniannya mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Saya juga salut
karena dia sudah mantap dengan tujuan belajarnya di negeri asing.
Jujur, saya tidak sependapat dengan teman (atau rekan, atau
apa pun itu –kami belum pernah berkenalan meski belajar di kelas workshop yang
sama) tersebut. Setidaknya, percaya atau tidak saya menikmati penulisan
makalah, esai, dan tulisan-tulisan semacamnya (termasuk obrolan agak satir yang
biasa ada di sini). Dan buat saya, kelas
workshop tersebut adalah ajang refreshing diantara kesibukan belajar intensif
Bahasa Jepang empat hari seminggu empat setengah jam sehari. Tapi itulah
masalahnya. Memang (setahu saya) tidak ada salahnya menikmati kelas (atau
kegiatan apa pun itu) karena sekedar suka. Tapi saya juga ingat kalau belajar
itu (seharusnya) ada tujuan akhirnya. Si teman Afrika tadi misalnya, dia sudah
mantap menyatakan kuliah di kampus kami untuk belajar bisnis, dan memang kalau
tujuannya bekerja di sektor itu, kampus kami bisa dibilang sangat menjamin masa
depan dengan tingkat penyerapan lulusan di bursa kerja termasuk tiga besar
tertinggi se-Jepang. Tapi seingat saya, tujuan saya bukan itu. Saya tidak ingin
selesai kuliah langsung kerja di perusahaan apa pun dari negara mana pun. Seingat
saya, saya ingin jadi peneliti maslah sosial, atau pengamat politik, atau
pekerjaan lain yang terkesan “ilmiah” dan berhubungan dengan dunia pengetahuan
sosial. Sebenarnya ada juga lulusan dari kampus tempat saya kuliah ini yang
melanjutkan ke pascasarjana, bahkan ke kampus elit di negara seperti AS. Tapi
itu hanya sekitar lima persen dari lulusan tiap tahun. Sepertinya agak berbeda
dengan kampus di negeri sendiri tempat saya secara sengaja atau tidak sengaja
diterima yang (setahu saya) dihormati sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia
dengan banyak lulusan yang melanjutkan pendidikan, kampus saya di Jepang adalah
kampus yang berorientasi “dunia nyata”.
Buat sebagian kalangan, kampus saya termasuk cukup disegani
karena keberhasilannya menembus bursa kerja di Jepang. Tapi buat sebagian yang
lain, kampus ini bukan sebuah dunia akademik, melainkan semata-mata tempat
rehat setelah lulus SMA untuk memudahkan masuk kerja setelah lulus. Hal ini
saya ketahui dari teman di kelas lain. Kali ini di kelas workshop komunikasi
beda bahasa, dimana mahasiswa lokal dan internasional dicampur dan ditugaskan
membuat semacam proyek bersama. Pada presentasi proyek, ada grup lain yang
menyatakan hal di atas. Naluri sinis saya langsung muncul. Kelompok itu
menggunakan kampus kami sebagai semacam represntatsi dari kamus “level menengah”,
dibanding kampus-kampus tua yang benar-benar berorientasi akademis kampus kami
(kata mereka) termasuk kampus dengan mahasiswa yang mengalami dekadensi
pemikiran serta penurunan kualitas. Menurut mereka, banyak mahasiswa lokal
(Jepang) di kampus saya yang tida menganggap kampus sebagai dunia akademis.
Seratus enam puluh derajat dari mereka, ada saya yang menganggap kampus adalah
dunia yang (menurut saya seharusnya) benar-benar akademis. Di kampus saya ada
lembaga riset, tapi sebagaimana jumlah lulusan yang melanjutkan studi,
popularitas lembaga riset tersebut di kalangan lokal tampak rendah. Bukan
sesuatu yang saya apresiasi dari sebuah kampus.
Mungkin saya beruntung dapat dosen yang cukup akademis di
kelas yang saya ambil. Dan sementara ini, saya juga merasa masih bisa menemukan
hal-hal yang cukup “akademis” untuk dilakukan di sini. Tapi itu tidak mengubah
kenyataan bahwa saya telah masuk ke dunia yang sama sekali berbeda dengan yang
saya impikan sebelum lulus SMA, yang sepertinya lebih dekat dengan kampus yang
syaa tinggalkan di Indonesia dibanding di sini. Bagaimanapun, ada bagian dari
diri saya yang terus bertanya: Kenapa saya kuliah? Di sini? Dan sepertinya saya
butuh waktu agak lama untuk menjawabnya. Tidak sekarang.
labelingnya gara gara apan emg di?
ReplyDelete1. swasta, 2. mahal, 3. seleksi akademik gak seketat ex-imperial university+kecenderungan lebih gampang masuk buat yg berasal dari SMA satu yayasan, 4. ada semacam rumor yg beredar di kalangan mahasiswa lokal sana (gak tau apa, tapi katanya berhubungan sama alasan & tujuan pendirian kampus)
ReplyDelete