Tadinya saya berniat menulis tentang seorang wakil gubernur yang belum ini mengeluarkan pernyataan kontroversial tentang moral dan akhlak pejabat secara umum termasuk beliau sendiri. Tapi, ketika saya sedang asik mencari bahan di laman-laman berita di internet, ada yang membuat saya tersenyum sendiri. Saat saya sampai di situs web sebuah media cetak dan elektronik berbahasa Inggris yang terbit di Jakarta, saya dibuat berpikir tentang kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat.
Dalam wacana kebebasan berpendapat, mungkin komentar-komentar bernada negatif di media massa bisa dianggap wajar dan bisa dibela oleh si pemberi komentar atas nama kebebasan berpendapat itu sendiri. Yang agak aneh adalah, ketika mulai terjadi saling hujat --atau terkadang reaksi hujatan satu arah-- terhadap pendapat orang lain. Lebih aneh lagi kalau ada yang mati-matian membela kebebasan berpendapat, tapi marah-marah ketika pendapatnya dibantah. Bukankah sebenarnya hampir semua yang ada di media massa adalah pendapat?
Bukannya saya ingin memperkeruh suasana, tapi saya merasa memang ada paradoks yang muncul bersama naiknya tren kebebasan berpendapat, berbicara, dan berekspresi. Kalau memang kita bebas berpendapat, apakah tidak boleh kita berpendapat bahwa suatu kebebasan itu harus tetap ada batasnya? Kalau ada yang protes, tinggal bilang ini pendapat saya dan saya seharusnya bebas mengemukakan pendapat. Ya, memang itu bisa memunculkan satu paradoks lagi --kalau bukan ironi, bagaimana mungkin saya mengangkat argumen tentang kebebasan berpendapat disaat saya sendiri tidak mendukung kebebasan tersebut. Bagaimanapun, inilah kenyataan yang muncul bersamaan dengan tren kebebasan berpendapat tersebut.
Saya tidak mengambil posisi ekstrem dalam wacana kebebasan berpendapat ini. Jujur saja saya merasa kebebasan berpendapat itu sangat wajar. Tapi di sisi lain, ada kecenderungan yang terlihat jelas bahwa kadang kita lupa bahwa dengan adanya kebebasan berpendapat dan berekspresi bukan berarti kita benar-benar bebas melakukan apa pun semau kita. Ada hak orang lain yang sebenarnya juga penting dan sering terganggu, tapi pada saat suasana mulai panas cenderung terlupakan. Hak-hak seperti ketenteraman dan perasaan aman kadang tertutupi oleh hal-hal yang lebih terlihat oleh publik. Hak-hak seperti keamanan fisik memang benar-benar penting, tapi hal seperti kenyamanan batin, kerukunan sosial, dan hal-hal lain yang kadang terdengar naif juga tidak kalah penting. Saya menyatakan posisi saya secara dengan menolak tindakan kekerasan dan anarkisme lain dalam konteks menanggapi pendapat orang lain. Tapi saya juga tidak bisa mengatakan mereka yang pada akhirnya diserang secara fisik tidak bersalah. Kadang jelas terlihat bahwa reaksi di dunia nyata terjadi karena perang opini yang panas dalam bentuk tulisan atau media lain. Pihak yang pada akhirnya mengganggu ketenteraman umum dengan tindakan maupun slogan yang membuat tidak nyaman bisa dikatakan salah, tapi itu tidak serta merta membenarkan pihak yang diserang karena opini yang mereka perjuangkan mati-matian di media ternyata melukai perasaan pihak lain.
Mungkin posisi yang saya ambil terkesan main aman. Tapi begitulah yang saya rasakan. Berhubungan dengan bagian pembuka tulisan ini, saya ingin mengambil sedikit contoh dari apa yang saya temukan ketika mencari bahan tentang tema yang awalnya ingin saya bahas. Di laman-laman yang memuat berita politik, agama, dan hukum hampir selalu ada komentar-komentar yang tampak menuntut – kalau bukan memaksakan kehendak, dan menyatakan secara lantang bahwa yang benar adalah si pemberi komentar. Saya senyum-senyum sendiri ketika pada suatu judul berita membaca komentar tiga orang yang dengan paham dan posisi masing-masing, tetap punya kesamaan. Meski mereka terlihat saling menyanggah satu sama lain, mereka memiliki satu titik temu, menurut mereka subjek pada berita tersebut salah dan patut disalahkan. Yang terlihat oleh pembaca netral --setidaknya dalam kasus ini anggap posisi saya netral, kesalahan yang secara jelas dilakukan oleh subjek dalam berita-berita tersebut adalah tidak secara penuh sepaham dengan para pemberi komentar. Ya, mungkin seperti posisi saya ini. Bedanya, sering kali yang diberitakan adalah pembuat kebijakan dan pengambil keputusan yang memang punya kepentingan dengan hajat hidup orang banyak, sedangkan saya hanya pengamat awam yang kadang terlalu banyak berpikir.
Yang ingin saya tekankan, dari contoh itu dapat terlihat bahwa kebebasan di media kadang membuat kita lupa bahwa ada pihak lain dengan cara pandang lain, dan ada pihak yang sering harus membuat kebijakan untuk mengakomodasi pendapat-pendapat yang ada. Selain itu, ada juga pihak-pihak yang dalam kasus-kasus tertentu sebenarnya netral dan ingin tetap netral, tapi ikut merasa tidak nyaman dengan adanya perang opini di media. Buat saya pribadi kebebasan berpendapat adalah hak yang harus dipenuhi, tapi bukan sesuatu yang bisa dijadikan alasan untuk mencabut hak-hak orang lain. Kebebasan berpendapat tidak serta-merta berarti kita bebas mengemukakan semua opini dan melakukan segala cara agar pendapat kita diterima sebagai kebenaran oleh orang lain. Atau tidak?
Tuesday, March 5, 2013
Tuesday, February 5, 2013
Hidup sebagai Drama
Lagi-lagi
lewat satu bulan tidak ada menu baru di sini. Entah kenapa selalu ada alas an
untuk tidak menulis satu bulan ke belakang, sampai tidak ada satu tulisan pun
yang terbit di Januari. My bad, yeah. Ini bukan tulisan yang benar-benar baru.
Idenya sudah ada sejak dua atau tiga tahun yang lalu, saat itu saya usulkan
sebagai tema majalah sekolah. Mungkin karena memang tidak pas (saya juga tidak
benar-benar yakin tema seperti ini jadi tema majalah, cuma saat itu ide ini
terdengar keren dalam pikiran saya). Ya, jadi setelah satu bulan tidak menulis,
saya memutuskan untuk membawa “sketsa” yang terkubur di suatu tempat di otak
saya ini ke permukaan, dan menjadikannya tulisan singkat, menu biasa di warung
kopi ini.
Buat
saya, dunia ini kurang lebih tergambarkan oleh lagu yang dibawakan Achmad Albar
di akhir 70-an (saya belum lahir saat itu, dan saya tidak yakin sampai sekarang
pernah mendengar lagi itu secara utuh), “Panggung Sandiwara”. Secara pribadi,
saya menyukai cerita, entah itu dalam bentuk drama, film, komik, novel, atau
apa pun. Mengamati bagaimana karakter-karakter yang ada memainkan peran mereka
adalah semacam hiburan. Begitulah, sampai saya mulai merasa hidup yang saya
jalani ini adalah juga sebuah cerita. Untuk saya, ini adalah drama yang kisahnya
dimulai ketika saya mulai bisa mengingat sesuatu, dan akan selesai nati ketika
saya harus mengundurkan diri dari dunia ini.
Meski
begitu, dari sudut pandang yang berbeda, drama hidup saya tidak sesederhana
itu. Bagi orang-orang di sekitar saya, kisah hidup saya sudah dimulai bahkan
sebelum saya belum bisa melakukan apa-apa, bahkan menangis. Buat saya,
cerita-cerita tentang masa itu hanyalah prolog yang diceritakan oleh orang tua
saya dan orang-orang yang seumuran dengan mereka. Tapi, bagi mereka, sebagian
dari hidup saya yang saya sendiri tidak merasakan itu sudah menjadi bagian dari
drama hidup mereka masing-masing. Kita
menjalani sendiri seluruh hidup kita, dan di saat yang sama sebagian dari hidup
kita ada adalah juga bagian dari kehidupan orang lain. Bagian
‘untuk-kita-sendiri’ di dunia ini bisa dibilang selesai ketika kita mati, tapi
bisa jadi ada bagian ‘untuk-orang-lain’ yang tetap hidup sebagai warisan dari
kita.
Kembali
ke masa sekarang, pernahkah kita membayangkan bahwa selain menjadi protagonis cerita
kita sendiri, kita juga memainkan bermacam-macam peran di cerita orang lain?
Kadang kita berperan sebagai sahabat yang baik, mungkin sebagai partner in
crime, atau mungkin sebagai penjahat yang dibenci dari lubuk hati oleh si
pemeran utama dalam kisah itu. Kadang kita menyadari apa peran kita, tapi lebih
sering tidak. Ambil contoh karya legendary Sir Arthur Conan Doyle, kasihan Dr.
Watson, jadi pemeran pembantu dalam ceritanya sendiri. Ya, memang kasihan si
Watson, tapi bukan itu intinya. Di luar fakta bahwa cerita itu fiktif, kita
tahu dari narasi yang ada tentang apa yang dipikirkan Watson tentang
(sepertinya) sahabatnya, Holmes. Namun, kita hampir tak punya bukti yang kuat
tentang hal sebaliknya: apa yang dipikirkan Holmes tentang Watson?
Kita
bisa menggunakan contoh diatas untuk melihat hidup kita. Mungkin kita memiliki
daftar “teman”, satu set tokoh antagonis mulai dari yang sekedar menyebalkan
sampai yang kita benci dari lubuk hati terdalam, dan banyak tritagonis dan
figuran yang member bumbu dalam hidup kita. Akan tetapi, kita juga adalah
bagian dari hidup orang lain. Sering kita tak tahu apa posisi kita dalam
cerita-cerita yang lain tersebut. Saya bisa jadi adalah
orang-aneh-yang-mungkin-datang-dari-planet-lain, atau mungkin bisa jadi senior
yang menyebalkan di klub ekstra kurikuler, dan mungkin juga atasan jahat yang
melakukan sesuatu yang keji pada pemeran utama di cerita itu sampai layak
dikutuk bersama-sama oleh seluruh pemirsa yang menyaksikan dan pembaca yang
membaca kisah tersebut. Semua terjadi dengan kondisi yang kurang lebih sama
dengan saya, para protagonis di cerita-cerita tadi tidak tahu apa yang terjadi
di bagian hidup saya dimana mereka tidak terlibat.
Memang
tidak salah jika mengatakan bahwa mustahil membuat semua orang senang. Tapi
mungkin hal ini layak dipikirkan. Cukup ingat bahwa kita adalah juga bagian
dari cerita-cerita lain, yang diceritakan dengan sudut pandang berbeda-beda,
oleh narator yang berbeda pula. Boleh-boleh saja memiliki seperangkat “baik”
dan “buruk” untuk diri sendiri (dan saya punya itu), tapi mungkin ada baiknya
kita tidak serta merta mengantagoniskan
semua orang karena baiknya mereka tidak sesuai dengan baik milik kita,
sebagaimana kita (atau setidaknya saya pribadi) tidak ingin menjadi antagonis
di ratusan cerita yang berbeda.
Thursday, December 20, 2012
Kuliah ya...
Setelah dua kali berturut-turut menulis curhatan pribadi,
saya ingin mencoba kembali ke jalur awal. Semoga emosi yang agak negatif di
tulisan sebelum ini tidak terbawa ke sini. Semoga ini menjadi tulisan yang bisa
dinikmati tanpa harus membuat pembacanya menjadi korban curhat sembarangan si
penulis.
Tiga minggu ke belakang, saya mendapat sedikit pengalaman
yang menyeret saya untuk kembali berpikir kenapa saya memilih kuliah di kampus
tempat saya belajar sekarang. Saya kembali bertanya apa sebenarnya yang saya
cari di sini. Pengalaman itu terjadi di kelas workshop penulisan karya ilmiah untuk
mahasiswa tahun pertama. Seorang mahasiswa asal Afrika yang terkesan agak malas
mengikuti kelas wajib tersebut akhirnya menyatakan secara jujur pada asisten
dosen di kelas kami, “saya ke sini untuk belajar bisnis, dan menurut saya kelas
ini (penulisan karya ilmiah) hanya membuang waktu saya.” Saya terhenyak
mendengar pengakuan orang yang duduk di dekat saya itu. Di satu sisi saya agak
sebal dengan kelakuan orang itu, tapi di sisi lain saya mengagumi kejujuran dan
keberaniannya mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Saya juga salut
karena dia sudah mantap dengan tujuan belajarnya di negeri asing.
Jujur, saya tidak sependapat dengan teman (atau rekan, atau
apa pun itu –kami belum pernah berkenalan meski belajar di kelas workshop yang
sama) tersebut. Setidaknya, percaya atau tidak saya menikmati penulisan
makalah, esai, dan tulisan-tulisan semacamnya (termasuk obrolan agak satir yang
biasa ada di sini). Dan buat saya, kelas
workshop tersebut adalah ajang refreshing diantara kesibukan belajar intensif
Bahasa Jepang empat hari seminggu empat setengah jam sehari. Tapi itulah
masalahnya. Memang (setahu saya) tidak ada salahnya menikmati kelas (atau
kegiatan apa pun itu) karena sekedar suka. Tapi saya juga ingat kalau belajar
itu (seharusnya) ada tujuan akhirnya. Si teman Afrika tadi misalnya, dia sudah
mantap menyatakan kuliah di kampus kami untuk belajar bisnis, dan memang kalau
tujuannya bekerja di sektor itu, kampus kami bisa dibilang sangat menjamin masa
depan dengan tingkat penyerapan lulusan di bursa kerja termasuk tiga besar
tertinggi se-Jepang. Tapi seingat saya, tujuan saya bukan itu. Saya tidak ingin
selesai kuliah langsung kerja di perusahaan apa pun dari negara mana pun. Seingat
saya, saya ingin jadi peneliti maslah sosial, atau pengamat politik, atau
pekerjaan lain yang terkesan “ilmiah” dan berhubungan dengan dunia pengetahuan
sosial. Sebenarnya ada juga lulusan dari kampus tempat saya kuliah ini yang
melanjutkan ke pascasarjana, bahkan ke kampus elit di negara seperti AS. Tapi
itu hanya sekitar lima persen dari lulusan tiap tahun. Sepertinya agak berbeda
dengan kampus di negeri sendiri tempat saya secara sengaja atau tidak sengaja
diterima yang (setahu saya) dihormati sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia
dengan banyak lulusan yang melanjutkan pendidikan, kampus saya di Jepang adalah
kampus yang berorientasi “dunia nyata”.
Buat sebagian kalangan, kampus saya termasuk cukup disegani
karena keberhasilannya menembus bursa kerja di Jepang. Tapi buat sebagian yang
lain, kampus ini bukan sebuah dunia akademik, melainkan semata-mata tempat
rehat setelah lulus SMA untuk memudahkan masuk kerja setelah lulus. Hal ini
saya ketahui dari teman di kelas lain. Kali ini di kelas workshop komunikasi
beda bahasa, dimana mahasiswa lokal dan internasional dicampur dan ditugaskan
membuat semacam proyek bersama. Pada presentasi proyek, ada grup lain yang
menyatakan hal di atas. Naluri sinis saya langsung muncul. Kelompok itu
menggunakan kampus kami sebagai semacam represntatsi dari kamus “level menengah”,
dibanding kampus-kampus tua yang benar-benar berorientasi akademis kampus kami
(kata mereka) termasuk kampus dengan mahasiswa yang mengalami dekadensi
pemikiran serta penurunan kualitas. Menurut mereka, banyak mahasiswa lokal
(Jepang) di kampus saya yang tida menganggap kampus sebagai dunia akademis.
Seratus enam puluh derajat dari mereka, ada saya yang menganggap kampus adalah
dunia yang (menurut saya seharusnya) benar-benar akademis. Di kampus saya ada
lembaga riset, tapi sebagaimana jumlah lulusan yang melanjutkan studi,
popularitas lembaga riset tersebut di kalangan lokal tampak rendah. Bukan
sesuatu yang saya apresiasi dari sebuah kampus.
Mungkin saya beruntung dapat dosen yang cukup akademis di
kelas yang saya ambil. Dan sementara ini, saya juga merasa masih bisa menemukan
hal-hal yang cukup “akademis” untuk dilakukan di sini. Tapi itu tidak mengubah
kenyataan bahwa saya telah masuk ke dunia yang sama sekali berbeda dengan yang
saya impikan sebelum lulus SMA, yang sepertinya lebih dekat dengan kampus yang
syaa tinggalkan di Indonesia dibanding di sini. Bagaimanapun, ada bagian dari
diri saya yang terus bertanya: Kenapa saya kuliah? Di sini? Dan sepertinya saya
butuh waktu agak lama untuk menjawabnya. Tidak sekarang.
Subscribe to:
Posts (Atom)