Sesekali saya merasa
kesal sendiri ketika melihat tembok di pinggir jalan yang dicorat-coret
asal-asalan. Bukannya tidak menghargai “seni”, hanya saja terlihat kurang pas sebagai
hiasan, apalagi kalau isi coretannya tidak benar-benar penting seperti nama
geng, nama jalanan sekolah, sampai nama pacar. Tidak cuma di tembok,
fasilitas-fasilitas seperti telepon umum dan ruang ganti kolam renang juga
menjadi korban kejahilan tersebut. Ada yang bilang, hal seperti itu disebakan
oleh kurangnya sense of belonging atau rasa memiliki oknum-oknum
tertentu terhadap fasilitas publik. Namun, saya cenderung berpendapat lain. Sense
of belonging orang Indonesia (maaf bila generalisasi yang saya buat
terkesan kurang sopan, toh saya kadang merasa termasuk kedalamnya) bukannya
kurang, malah kadang berlebihan. Masalahnya adalah, rasa memiliki tersebut
sering salah tempat.
Masalah rasa memiliki ini
tidak terbatas pada vandalisme kecil-kecilan seperti urusan corat-coret
fasilitas umum, tapi merambah juga ke aspek
lain kehidupan. Contohnya saja, orang yang merokok di tempat yang tak
seharusnya. Yang ada dalam pikirannya adalah “rokok-rokok gua, tempat milik
umum termasuk gua, berarti gua punya hak buat ngerokok disini.” Frasa pertama
dan kedua mau tidak mau saya akui kebenarannya. Rokok yang ia hisap adalah
rokok yang ia beli (atau usahakan) sendiri, dan ia termasuk anggota masyarakat
yang berhak menggunakan fasilitas umum. Namun, ada hal yang hilang disini. Ia
lupa –bila tidak ingin menyebut abai—bahwa ada anggota masyarakat lain yang
juga memiliki hak untuk menggunakan fasilitas umum tersebut, sekaligus hak
untuk menghirup udara yang bersih (setidaknya lebih bersih dibanding jika
ditambah asap rokok).
Sayangnya, masalah sense
of belonging salah tempat seperti itu tidak hanya ditemui di kalangan
rakyat kebanyakan. Wakil-wakil rakyat di DPR dapat dilihat memiliki penyakit
yang sama akutnya. Buktinya? Keinginan membangun gedung baru dan
kunjungan-kunjugan “kerja” ke luar negeri akhir-akhir ini (untuk pin kedua
sudah sejak lama sebenarnya). Jabatan yang mereka emban memang milik
mereka, termasuk hak-hak yang melekat seperti fasilitas kantor dan bahkan
kunjungan kerja (bedakan dengan kunjungan “kerja”). Yang jadi perkara, mereka
lupa –atau abai—bahwa hak-hak tersebut didanai dengan anggaran yang sebenarnya
bukan hanya milik mereka. Rasa memiliki yang terlalu besar dan salah tempat
menyebabkan pemaksaan kehendak dan penuntutan hak, yang menurut analisis awam maupun
ahli tidak benar-benar dibutuhkan.
Jujur saja, meskipun
berkoar-koar seperti ini, saya (sebagai orang Indonesia setidaknya) juga kadang
terjangkit penyakit yang sama. Kadang saya gatal ingin menandai buku-buku yang
saya pinjam dari perpustakaan. Saya juga sering malas membereskan kamar (yang
ditinggali berempat), hanya karena alasan yang saya akui sebagai alasan bodoh,
“ini kamar gua, terserah gua mau gimana.”
Masalahnya tidak rumit. Sangat sederhana, bahkan. Hanya bagaimana kita mengendalikan sense
of belonging yang kita miliki. Mudah? Buat saya tidak.