Pages

Saturday, May 21, 2011

Dari Corat-Coret sampai Kunjungan Kerja DPR: Masalah Sense of Belonging


Sesekali saya merasa kesal sendiri ketika melihat tembok di pinggir jalan yang dicorat-coret asal-asalan. Bukannya tidak menghargai “seni”, hanya saja terlihat kurang pas sebagai hiasan, apalagi kalau isi coretannya tidak benar-benar penting seperti nama geng, nama jalanan sekolah, sampai nama pacar. Tidak cuma di tembok, fasilitas-fasilitas seperti telepon umum dan ruang ganti kolam renang juga menjadi korban kejahilan tersebut. Ada yang bilang, hal seperti itu disebakan oleh kurangnya sense of belonging atau rasa memiliki oknum-oknum tertentu terhadap fasilitas publik. Namun, saya cenderung berpendapat lain. Sense of belonging orang Indonesia (maaf bila generalisasi yang saya buat terkesan kurang sopan, toh saya kadang merasa termasuk kedalamnya) bukannya kurang, malah kadang berlebihan. Masalahnya adalah, rasa memiliki tersebut sering salah tempat.

Masalah rasa memiliki ini tidak terbatas pada vandalisme kecil-kecilan seperti urusan corat-coret fasilitas umum, tapi merambah juga ke aspek  lain kehidupan. Contohnya saja, orang yang merokok di tempat yang tak seharusnya. Yang ada dalam pikirannya adalah “rokok-rokok gua, tempat milik umum termasuk gua, berarti gua punya hak buat ngerokok disini.” Frasa pertama dan kedua mau tidak mau saya akui kebenarannya. Rokok yang ia hisap adalah rokok yang ia beli (atau usahakan) sendiri, dan ia termasuk anggota masyarakat yang berhak menggunakan fasilitas umum. Namun, ada hal yang hilang disini. Ia lupa –bila tidak ingin menyebut abai—bahwa ada anggota masyarakat lain yang juga memiliki hak untuk menggunakan fasilitas umum tersebut, sekaligus hak untuk menghirup udara yang bersih (setidaknya lebih bersih dibanding jika ditambah asap rokok).

Sayangnya, masalah sense of belonging salah tempat seperti itu tidak hanya ditemui di kalangan rakyat kebanyakan. Wakil-wakil rakyat di DPR dapat dilihat memiliki penyakit yang sama akutnya. Buktinya? Keinginan membangun gedung baru dan kunjungan-kunjugan “kerja” ke luar negeri akhir-akhir ini (untuk pin kedua sudah sejak lama sebenarnya). Jabatan yang mereka emban memang milik mereka, termasuk hak-hak yang melekat seperti fasilitas kantor dan bahkan kunjungan kerja (bedakan dengan kunjungan “kerja”). Yang jadi perkara, mereka lupa –atau abai—bahwa hak-hak tersebut didanai dengan anggaran yang sebenarnya bukan hanya milik mereka. Rasa memiliki yang terlalu besar dan salah tempat menyebabkan pemaksaan kehendak dan penuntutan hak, yang menurut analisis awam maupun ahli tidak benar-benar dibutuhkan.
Jujur saja, meskipun berkoar-koar seperti ini, saya (sebagai orang Indonesia setidaknya) juga kadang terjangkit penyakit yang sama. Kadang saya gatal ingin menandai buku-buku yang saya pinjam dari perpustakaan. Saya juga sering malas membereskan kamar (yang ditinggali berempat), hanya karena alasan yang saya akui sebagai alasan bodoh, “ini kamar gua, terserah gua mau gimana.”

Masalahnya tidak rumit. Sangat sederhana, bahkan. Hanya bagaimana kita mengendalikan sense of belonging yang kita miliki. Mudah? Buat saya tidak.

No comments:

Post a Comment