Pages

Sunday, May 15, 2011

Antre ala Indonesia: Egalitarianisme Kebablasan?

Beberapa waktu lalu, saya berpartisipasi dalam sebuah kegiatan bakti sosial yang menyediakan pembagian sembako gratis. Tak ada masalah serius yang terjadi, selain sempat terjadinya antrean ala Indonesia, alias tidak ada antrean yang benar-benar terbentuk. Sebagian peserta --yang telah diberikan kupon sebagai jaminan 'hak' mereka-- maju secara bersamaan membentuk kerumunan yang tak jelas kepala dan ekornya (karena memang tak ada). Hasilnya sesuai dugaan, keributan pecah. Kondisi tersebut baru dapat teratasi setelah Kepala Desa setempat turun tangan langsung menenangkan warga yang kesal terhadap aksi mereka sendiri, ogah antre.

Keadaan seperti itu tak hanya terjadi pada kalngan (maaf) "kurang terdidik". Baru-baru ini, saya menghadiri sebuah konferensi berskala internasional tentang bisnis dan lingkungan hidup di Jakarta. Panitia bekerja sama dengan sebuah perusahaan media menyediakan sebuah sesi khusus untuk guru dan pelajar. Tak butuh waktu lama setelah panitia membuka meja registrasi untuk melihat sesuatu yang kurang patut terjadi pada kalangan "terdidik", kerumunan yang tak jelas ujung-ujungnya (lagi-lagi karena memang tak ada).

Antrean ala Indonesia adalah fakta sosial yang tak patut disebut budaya, namun telah terbudaya. Saya sendiri berpendapat, fenomena antre seperti ini adalah perwujudan dari keinginan masyarakat akan kehidupan yang egaliter, setidaknya dengan sesama anggota masyarakat. Bangsa yang pernah ratusan tahun dijajah ini mengalami semacam euforia saat merdeka. Semangat egaliter yang meluap-luap membuat orang Indonesia ingin selalu sejajar satu sama lain dan bebas dari aturan. Antrean yang berbentuk garis atau linier membuat sebagian masyarakat merasa terbelenggu oleh sistem yang mempersulit mereka dari mendapatkan apa yang mereka inginkan. Selain itu, antrean yang linier membuat mereka merasa dinomorsekiankan dibandingkan orang-orang yang antre didepan mereka.

Untungnya (setidaknya dalam hal ini), penjajahan di Indonesia mewariskan hal lain kepada masyarakat. Budaya patron yang kuat, dimana masyarakat secara naluriah menuruti perintah pemimpin yang dihormati (atau ditakuti). Sebagai bukti, dapat diamati bahwa bubarnya antrean baru dapat diatasi ketika ada pihak yang dihormati (atau setidaknya berkuasa atas massa dengan cara apa pun) mengatur langsung jalannya antrean, yang menyebabkan para pengantre (dengan terpaksa atau tidak) kembali membentuk garis antrean yang teratur.

"Budaya" seperti ini --setidaknya bagi saya-- bukanlah hal ynag menyenangkan. Antrean memang kadang menyebalkan, tapi kerumunan lebih tidak menyenangkan, bahkan bisa berbahaya. Tidak hanya satu atau dua kasus terkait antrean ala Indonesia yang diberitakan di mesia massa, sebagaian bahkan memakan korban jiwa. Tak dapat dipungkiri bahwa antrean seperti ini telah membudaya (meskipun tak layak disebut sebagai budaya) di masyarakat. Satu-satunya cara untuk mengubahnya adalah dengan mulai membiasakan diri sendiri untuk tertib dalam antrean, dengan segala kesuntukan dan risikonya. Ada pendapat lain?

No comments:

Post a Comment